Buat yang terbiasa dengan majas semacam itu tentunya paham maksud yang ada di dalamnya, yakni meninggalkan sesuatu yang bernilai atau lebih baik dan menggantinya dengan yang kurang bernilai atau lebih buruk. Mengapa emas? Sebab logam mulia itu dilihat punya nilai tertinggi dan bisa berguna dalam apa saja, entah transaksi hingga aksesori. Fisiknya yang berkilau mempesona banyak orang. Belum lagi jika digunakan dan diperjualbelikan. Harga emas bakal naik terutama saat krisis, sebab orang menyimpannya sebagai cadangan atau investasi. Mengapa loyang? Dulu benda satu ini adalah logam yang mirip emas. Terbuat dari tembaga dan digosok mengkilat, namun kalo pudar warnanya menjadi kehijauan. Loyang juga berarti tempat atau wadah yang terbuat dari aluminium, plastik dan bahan lain sesuai jamannya. Meski ada gunanya, tapi tidak bernilai sama dengan emas.
Lantas mengapa majas di atas menjadi penting untuk dibahas? Sebab di dalam hidup sehari-hari banyak orang yang mengambil pertimbangan dan keputusan dengan konsekuensi membuang emas. Pengertian emas di sini bisa kesempatan, bisa benda, bisa pekerjaan, bisa orang, bisa apapun dan kemudian menggantinya dengan yang lebih tidak bernilai. Tentu saja pilihan atas pertimbangan dan keputusan tersebut bernilai subyektif. Ada banyak alasan untuk itu. Akan tetapi pertimbangan dan keputusan tersebut terbukti tidak matang ketika yang bersangkutan menyesal kemudian, atau larut dalam proses lingkaran setan yang tak berujung, atau memiliki resiko dengan dampak yang begitu berat di saat-saat terakhir. Semisal keputusan menjual rumah untuk kemudian tinggal ngontrak dengan alasan supaya dekat tempat kerja, bersikeras tetap tinggal sama orang tua dengan alasan buat urus padahal males mandiri, atau memaksakan beli mobil dengan alasan supaya bisa beraktivitas lebih leluasa daripada naik ojol. Hampir semua keputusan yang dibuat pastinya punya alasan subyektif. Begitu diperhatikan, hampir sebagian besar alasan-alasan itu bukan tidak masuk akal namun banyak pula yang mengada-ngada.
Sama halnya dengan keputusan untuk berpindah kerja, memilih pasangan, atau hal lain yang dianggap strategis di dalam hidup. Jika sedari awal ada banyak pembenaran dalam pengambilan keputusan, maka decision making process semacam itu tidak akan pernah memiliki landasan yang cukup kuat untuk bisa dipertahankan. Kok bisa? Sebab seringkali yang berbicara bukan minimal nalar wajar tetapi perasaan, ego, gengsi, kuatir, takut, dan sejumlah bahan non logis lainnya. Jadi nggak heran jika sebuah keputusan yang dibuat atas dasar itu hanya akan memperbesar unsur yang ada. Perasaan jadi membuncah, tapi sekaligus kuatir dan takut karena ternyata menghadapi ketidakpastian. Memelihara ego demi gengsi, tapi tidak siap dengan konflik yang akan muncul. Ketidakpastian dan konflik adalah hal yang sewajarnya patut dihitung dan dipersiapkan untuk dihadapi matang, bahkan bisa diminimalisasi seandainya keputusan dilakukan secara rasional.
“You can't make decisions based on fear and the possibility of what might happen.” ~ Michelle Obama
Jadi kekeliruan pertama adalah tidak menyiapkan landasan rasional atau enggan mengambil pertimbangan yang wajar karena soal bahan non logis tadi. Jika segala sesuatu dimulai dengan pembenaran, hanya sekedar menyenangkan perasaan,tidak ingin melewati sebuah proses yang menyakitkan, sekedar berdamai sesaat dengan kebutuha maka akan ada konsekuensi berupa ketidakpastian dan konflik. Akan tetapi ini sangatlah tipikal manusia; enggan menghadapi masalah tapi justru menciptakan masalah baru. Maunya situasi bisa terkontrol aman damai sejahtera tanpa gejolak, tapi biasanya malah dilakukan dengan pembiaran. Jadi ujungnya ya bakal ribet juga.
Kekeliruan berikutnya adalah ketika kondisi sudah berlarut-larut, adakah inisiatif yang kemudian muncul untuk memperbaiki keadaan? Adakah keberanian untuk kemudian mengubah arah dengan merevisi, merefleksi dan kemudian banting setir untuk sebuah keputusan baru. Sebab pada tahap ini banyak orang sadar sudah mengenggam loyang, tapi masih saja memperlakukannya seperti emas. Bisa jadi karena masih mencoba berharap, mengira-ngira atau takut untuk berubah. Wajar sih, sebab nyali itu mahal dan susah dicari. Kalo otak, masih dijual di rumah makan Padang.
Itulah sebabnya loyang masih tetap laku meski murah. Banyak kegunaan untuk tempat buang ludah atau kalo dari plastik bisa buat nyimpen apa gitu. Memiliki emas jelas tidak bisa sembarangan. Butuh usaha untuk bisa mendapatkannya. Apalagi mempertahankan emas juga mati-matian. Maka ada perampok emas, bukan begal wadah plastik nasi uduk. Bisa jadi ada orang yang memang sengaja mengejar loyang karena tau bahwa kualitas dirinya pun berbanding lurus dengan itu barang. Nggak ada yang salah juga di situ. Hanya semakin jelas bahwa sebuah decision making process tidak hanya bergantung kepada kualitas kondisi serta situasi yang dihadapi, alternatif-alternatif yang muncul, resiko dan ketidakpastian. Pengambilan keputusan juga berdasar kepada kompleksitas dan kualitas subyek pengambilan keputusan. Nah, sampai di situ jelaskan bedanya?
Jadi learning yang dapat diambil ada dua macem. Pertama, janganlah pernah melakukan pembiaran dengan perasaan memegang kendali. Jika timbul efek berlipat dari konflik yang tak ujung usai, tandanya nalar sehat tidak bekerja dengan baik. Kedua, sesal kemudian tak berguna. Yaiyalah, penyesalan selalu datang belakangan. Kalo duluan, namanya pendaftaran.