Ketika orang memulai sesuatu, sudah pasti ada harapan di belakang. Angan untuk bisa segera sukses dan memetik buah hasil secara nyata di depan. Artinya, dengan memulai saja sudah bisa membayangkan bahwa ada yang bisa dinikmati. Akan tetapi umumnya orang lupa, bahwa memulai itu sama saja dengan menanam. Nggak segampang dan secepat begitu tanam kemudian langsung panen. Sebab menanam sendiri adalah tindakan awal yang masih harus diikuti dengan memupuk, merawat, menjaga, memangkas jika perlu hingga pohon impian itu bisa berdiri tegak.
Jika sudah mulai kuat dan rimbun, pohon juga tidak langsung berbuah. Butuh waktu yang cukup lama bisa panen. Itu sama kayak dengan modal seratus ribu beli bibit pohon manggan kemudian butuh waktu paling tidak delapan tahun untuk berbuah lebat. Belum lagi kalo harus tambah modal buat beli pupuk, menyiram secara berkala. Kalo diserang hama dan harus dipangkas ya lebih lama lagi. Pengen lebih cepat? Gampang. Bawa duit seratus ribu terus pergi aja ke pasar beli mangga. Bisa langsung dimakan. Tapi segitu hanya bisa beli buah, bukan pohon yang diharapkan melimpah.
Perumpaan di atas memperlihatkan bahwa banyak orang yang enggan melewati proses dengan sistematis dan benar. Lebih banyak orang yang kebelet buat merayakan keberhasilan, tapi maunya nggak ngeluarin modal apa-apa, ogah keringetan dan cuma ngebacot doang. Ingin melakukan selebrasi terhadap pencapaian yang dilakukan secara virtual bahkan nggak punya dampak apa-apa. Terlebih ini jaman media sosial. Keberhasilan suka diukur hanya dengan jumlah audience, likes, viewers yang sebenarnya sangat superfisial. Mengadakan acara online dengan ukuran yang sama dengan offline. Padahal selebrasi macam demikian biasanya hanya sekedar closing atau penutup dari serangkaian kegiatan yang sudah pasti penuh dampak, keluar modal, mikir keras, ada tenaga, ada biaya dan pastinya keringetan dulu. Tapi dasar maunya enak dan cepat, selebrasi lebih diutamakan ketimbang kegiatan yang menyita waktu.
Lantas apa dampaknya? Pertama, orang akan melihat bahwa sebuah usaha yang dilakukan dengan seringan mungkin tidak akan mendapatkan hasil yang setimpal. Istilah kerja cerdas nggak akan berguna kalo memang tidak diisi oleh kegiatan atau aktivitas yang mendukung seperti pembelajaran secara serius atau pemahaman yang lebih mumpuni. Kerja cerdas baru kelihatan hasilnya jika orang yang melakukan memang punya fokus dan komitmen untuk menuntaskan, ketimbang cuma sekedar jadi imbuhan status atau portofolio yang diragukan kebenarannya. Kedua, merayakan apapun hanya dengan sekedar bikin pertemuan online, menggratiskan undangan, bikin sertifikat yang dilakukan tanpa ada portofolio maka itu tidak lebih dari sekedar kumpal kumpul warung kopi. Kredibilitas bisa jadi hanya sebatas pada pengundang atau pembicara, tapi bukan pada lembaga itu sendiri. Ujungnya selebrasi menjadi sebuah keharusan atau kewajiban yang dilakukan berulang entah apapun yang jadi topik. Bisa jadi kalo kehabisan, kucing kawin juga bakal dibahas.
Itulah sebabnya kerja keras membuat pohon berbuah yang bisa tumbuh rutin dan dinikmati sepanjang tahun butuh perhatian ekstra. Apalagi jika beneran berbuah, maka paling mudah adalah memetik yang bisa dijangkau terlebih dulu alias terendah. Mengapa? Latihan sukses dulu biar nggak mangkrak kemudian.
"Without hard work, nothing grows but weeds." ~Gordon B. Hinckley
Maka kembali kepada pohon di atas; untuk bisa berbuah lebat harus ada kerja keras memupuk dang mengelola dengan baik. Jika nggak punya ekspektasi yang berbasis perencanaan matang, kejelasan tahapan dan kerja yang juga keras, maka secerdas apapun hanya jadi panggung silat lidah dan unjuk keberhasilan dalam meraup penonton. Itu pun juga nggak banyak-banyak amat. Maklum aja, yang nanem pohon kan bejubel. Apalagi yang beneran berkebun. Bukan cuma jadi pengamat buah mangga aja kan?