Pernah nggak ditraktir orang atau dijajanin? Seperti dibayarin atau disediain makan. Bisa sebungkus roti, semangkok bakso hingga makan prasmanan. Hampir semua pasti mengatakan pernah. Ada juga yang seumur hidup kagak merasakan. Akan tetapi mungkin lebih sedikit yang pernah mentraktir atau bagi-bagi jajan. Nah, di dalam interaksi sosial apalagi macem di kota besar, urusan traktir mentraktir itu lumrah sebagai token of appreciation. Sama seperti di kampung ada kenduri atau hajatan bagi-bagi besek hingga potong hewan, di kota juga ngejajanin adalah bentuk respek kepada orang lain sebagai upaya memelihara relasi baik yang bersifat personal maupun bisnis.
Akan tetapi etika semacam ini masih sering kurang dipahami banyak orang. Semisal kalo ada yang ultah, yang bersangkutan malah jadi repot ditagih makan-makan, bukan malah dibuat senang. Kalo lagi ada yang berduka, malah diajak curhat sambil ngebayarin jajan pula. Apalagi kalo ada yang senang dan punya kebiasaan sering traktir, malah selalu ditunggu ajakannya dan bukan sebaliknya ganti jajanin. Padahal bisa jadi orang-orang yang bermurah hati tersebut harus menyisihkan tidak saja uang sebagai biaya tetapi juga waktu dan upaya lain untuk berusaha membuat lainnya senang. Terlebih jika memang ada orang semacam itu yang sudah punya kebiasaan rutin. Maka siapapun yang berharap dan mendekat, bisa jadi hanya ingin mencecap keuntungan saja. Persis kayak semut nyamperin gula.
Apakah mereka juga mau melakukan apresiasi balik semacam itu? Belum tentu. Banyak juga yang tidak terbiasa dengan kultur tersebut dan berpikir bahwa urusan traktir adalah cost atau biaya. Tapi lucunya yang begini selalu ngaceng jari duluan untuk semangat menerima ajakan. Padahal namanya memelihara relasi baik personal atau bisnis itu jelas butuh tindakan berimbang. Ketahuanlah jika orang kayak gitu gagal paham untuk gimana caranya mengapresiasi orang lain, apalagi melihat urusan makan-makan sebagai bagian dari interaksi sosial. Membayangkan dalam konteks bisnis sebagai investasi mungkin bakal jauh lebih sulit.
Mengapa bisa demikian? Pertama, di kota besar tidak ada kewajiban yang mengikat sebagaimana bentuk timbal balik kepedulian kolektif seperti masyarakat di pedesaan. Di pelosok, interaksi sosial saling mendukung dan peran setiap orang sangat diharapkan terlihat. Jika ada hajatan atau kenduri, semua pihak terlibat bergiliran. Jadi kalo pake perspektif traktiran ya semua saling menerima dan memberi pada waktunya. Sementara di kota nggak ada kewajiban semacam demikian dan semua serba subyektif. Jadi kembali lagi kepada pribadi yang bersangkutan untuk apakah mau secara etis memegang dan mengikuti pola interaksi untuk menerima dan memberi, atau malah menerima doang. Kedua, tidak semua orang memahami etika untuk melihat bahwa urusan mentraktir bukan sekedar memberi atau menerima. Kalo diundang ya dateng, nggak diundang jangan dateng. Kalo dibayarin, inget-inget untuk gantian kapan-kapan. Kalo dibayarin, jangan milih paling mahal dan banyak ketimbang porsi yang membayar. Hal-hal pritil semacam itu belum tentu bisa dipahami kan? Ketiga, maka orang yang pelit dan perhitungan itu bukan kampungan, bukan pula kotaan. Nggak masuk di antara keduanya. Mungkin cocok di hutan.
"Courtesy is the one coin you can never have too much of or be stingy with". ~John Wanamaker
Jadi butuh pembelajaran untuk bisa mengerti bahwa tindakan sekecil apapun pada hakekatnya adalah untuk jangka panjang berupa menjaga relasi dan kebahagiaan yang muncul ketimbang semata untung rugi. Dengan interaksi sosial yang didasari memberi dan menerima macem mentraktir tersebut, kita bisa tau manusia macem apa yang dihadapi. Apakah benar-benar orang yang tulus, atau sebaliknya cuma ada maunya aja. Kalo cuma menimbang-nimbang semua hal hanya berdasarkan biaya dalam arti sempit berupa uang, maka orang nggak akan kemana-mana. Pikirannya masih cupet terbatas itu. Jangankan buat berpikir bisnis, untuk relasi personal saja akan kesulitan untuk bisa memahami perilaku etis tersebut. Dengan takut royal, boros dan sangat perhitungan maka bisa terlihat bahwa perspektifnya dalam interaksi sosial hanyalah berbentuk taktis dan bukan strategis. Oleh karena menganggap hubungan adalah bentuk taktis, maka bisa dipastikan banyak peluang akan luput dari genggaman. Gimana bisa dipercaya orang jika dikit-dikit perhitungan dan sebaliknya selalu ngaceng jari minta diajak? Itu sih ketaker cuma aji mumpung. Beda kelas. Kagak bahagia pisan.