Entah mengapa sesungguhnya hampir semua orang tidak suka atau benci terhadap kritik. Padahal kritik adalah sebuah input atau masukan yang memang dibutuhkan agar proses ke depan bisa lebih baik lagi. Kritik berlaku baik secara personal menyangkut perilaku, kebiasaan atau sikap. Berlaku juga secara profesional dalam ukuran pencapaian, kinerja, perbaikan dan sebagainya. Jadi, kritik adalah hal yang umum dan biasa dilakukan sebagai tanggapan sebab tidak ada orang yang bisa melihat dari kacamatanya sendiri terhadap apa yang ia lakukan.
Ketidaksukaan atau benci terhadap kritik apapun bentuknya, mau dibilang konstruktif atau membangun kek, sekedar masukan kek, IMHO kek, atau "maap cuma saling mengingatkan" bakal mendapat tanggapan balik yang bersifat negatif. Bahkan dalam skala profesional sekalipun, tanggapan terhadap kritik bisa menjadi personal. "Itu sih karena dasarnya nggak paham sama gue aja" atau "pada iri aja melihat ketamvanan aing", kerap muncul di benak orang yang tidak bisa menerima kritik. Mereka pikir, kritik adalah bentuk ketidaksukaan pula, hujatan, sinisme, sarkasme, atau segudang negasi yang nantinya harus bisa dihilangkan dengan healing-healingan sebab menganggu pikiran, menyakiti perasaan, merusak mental bahkan menganggu kehidupan psikososial.
Criticism is something you can avoid easily — by saying nothing, by doing nothing, and by being nothing. ~Elbert Hubbard
Sebegitunyakah? Mengapa pada benci dengan kritik? Pertama, kritik dianggap menganggu kenyamanan. Tidak semua orang terbiasa dengan masukan yang terlihat justru menganggu apa yang sedang dikerjakan. Zona nyaman yang ada sedemikian besar dan sengtitit eh sensitip. Kalau pun muncul opini atau bahkan evaluasi, dianggap harus bisa membangun harmoni dan keselarasan, tanpa harus berbeda pendapat. Ah taik kucing lah itu. Bilang aja baperan. Dengan zona nyaman seperti itu, kritik dianggap sebagai bentuk kekurangan yang memalukan. Kalo bikin malu ati, ngapain juga dibahas? Maka tidak heran dalam fase seperti ini kritik tidak akan pernah muncul. Hanya ada saling puja puji menguatkan perasaan yang setipis kaca depan angkot. "Lu dah keren kok tadi". "Semangat ya, besok tingkatken", atau "Nah gitu bro, nggak ada yang kayak elu dah ", itu biasa terlontar. Gagal pun dibilang sukses yang tertunda. Lah, gimana sukses beneran? Nggak bakalan dapet. Dah lah, nggak bisa ya bilang nggak bisa aja kenapa sih.
Kedua, kritik dilihat sebagai goresan kasar terhadap harga diri. Mereka yang anti kritik, meihat bahwa kritik tidak lebih dari sekedar penistaan. Itu bikin mangkel memang. Apa iya gue serendah, sebodoh dan segagal itu? Ya bisa jadi memang rendah, bodoh dan gagal tapi berhubung overpride maka kritik yang muncul jadi personal. Padahal belum tentu juga ada hubungannya. Soal kinerja tentu berkaitan tidak ada dengan kapasitas pribadi tetapi juga kemampuan mengelola kerja tim agar ada hasil yang bisa diraih. Jika target tidak tercapai, maka evaluasi adalah melihat proses. Orang yang harga dirinya terlalu tinggi, akan melihat kritik adalah serangan terhadap kapasitas personal. Dia tidak sadar, bahwa mungkin saja peran yang dipegang adalah kecil lantaran kerja kolektif. Akan tetapi dengan harga diri setinggi tiang listrik, maka apapun yang muncul justru membuat dirinya menjadi defensif. Tidak ada kata nggak bisa, nggak sukses atau nggak jalan. Kemudian buang badan gegara dievaluasi. Nah lho.
Ketiga, kritik dipandang sebagai bentuk negatif terhadap ego yang rapuh, sebab respons yang muncul sebagai self defense adalah "lu nggak tau gue, nggak kenal gue", "udah gue pikirin kok, tenang aja", "ntarlah dipikirin", "nggak usah ngatur-ngaturlah" yang merupakan ekspresi anti kritik. Hal itu bisa jadi karena memang tidak pernah dibiasakan untuk berinteraksi dan saling mengoreksi secara sehat. Bisa pula karena tidak memiliki pengalaman yang cukup matang dalam mengelola emosi di lingkup kerja profesional. Maka untuk menjadi terbiasa dengan kritik, sudah jelas pengalaman kerja menjadi penting. Orang yang biasa dikelola dan mengelola akan tau betapa pentingnya evaluasi. Bayangin kalo nggak pernah kerja dalam lingkup semacam itu, tau-tau mau jadi boss. Tetiba dikritik ngambeg, pundung, baper, trus muka masam. Udah buluk, asem pula.
Jadi kritik adalah hal yang biasa buat mereka yang secara personal cukup mampu melihat bentuk evaluasi agar diri menjadi lebih baik, sekaligus secara profesional mampu melihat bahwa setiap masukan seperti apapun adalah perspektif yang harus digunakan untuk mengukur sejauh mana kerja yang sudah dilakukan. Tidak semua orang paham bahwa kritik adalah pada hakekatnya selalu bersifat kontruktif sepedas apapun. Tidak semua orang mengerti bahwa amplas itu ada untuk memoles bongkahan kasar menjadi berlian. Semua mau tampil kemilau cemerlang, tapi berapa banyak yang sudi dipoles? Dasar batu bata. Dikasih semen dan ditumpuk aja dah ngomel. Apalagi diplester. Brisik ntar.