Kritik adalah hal yang lazim di dalam dinamika kolektif atau sekumpulan orang yang punya tujuan bersama. Dalam relasi berstruktur profesional seperti halnya organisasi kerja, kritik berbentuk evaluasi adalah mekanisme yang diciptakan untuk memperbaiki dan mengembangkan proses yang ada, meningkatkan pemahaman dan memberi apresiasi. Dengan demikian, kritik merupakan sebuah proses analisis evaluatif yang secara umum bertujuan untuk memperbaiki proses tersebut. Kata kritik sendiri berasal dari kritikos yang bermakna 'dapat didiskusikan'.
Meski lazim, tapi tidak semua orang terbiasa dengan kritik. Pertama, bisa jadi mekanisme kritik yang berlangsung tidak sepenuhnya tepat. Apresiasi yang diberikan terlalu minim ketimbang masukan yang terlalu tajam, sehingga orang merasa demotivasi dan enggan meneruskan pekerjaan. Dalam hal ini, kritik menjadi tidak lebih sekedar pisau yang menyayat nanah, tapi tidak menutup luka. Bisa jadi pula mereka yang terlibat di dalam proses kritik hanya menggunakan mekanisme ini untuk saling menusuk tetapi tidak memberikan solusi, tawaran, alternatif, tambahan masukan terhadap masing-masing yang dibutuhkan.
Kedua, mereka yang tidak biasa berorganisasi, kerja profesional atau aktivitas yang membutuhkan relasi kolektif untuk tujuan bersama menganggap kritik adalah hal yang personal. Setiap masukan yang diberikan dilihat sebagai bentuk serangan terhadap pribadi. Padahal, apa yang diberikan kepada mereka adalah berkaitan dengan soal kinerja. Dengan pendapat semacam itu, maka tidak mengherankan jika mereka melihat kritik sebagai sebuah bentuk sentimen atau ketidaksukaan. Ini bisa berkaitan dengan Dunning-Kruger Effect yang memperlihatkan bahwa orang yang sok pintar ata sok tau memang enggan untuk bisa menerima pendapat orang lain.
Jika mekanisme kritik dibutuhkan dalam kerangka kerja profesional, maka bayangkan seandainya ada orang yang memang tidak bias tetapi masuk ke dalam bentuk organisasi semacam itu. Atau budaya organisasi sendirilah yang memang terlalu permisif sehingga proses pengembangan melalui ragam masukan atau evaluasi nyaris tidak pernah dilakukan. Boro-boro kasih masukan jujur, yang ada cuma elus punggung saling memuji dan menguatkan di tengah hasil kerja yang buruk. Mengapa itu bisa terjadi? Sebab ada juga orang yang berangggapan bahwa kritik hanyalah menghasilkan konflik. Jika evaluasi dilakukan, maka ada asumsi akan saling menimbulkan ketidakpercayaan. Ini wajar dan mungkin jika relasi yang menjadi dasar kerja adalah bersifat personal. Bahaya? Jelas. Meniadakan konflik dengan meminimalisasi evaluasi terbuka hanyalah menimbulkan konflik baru yang lebih besar. Kerja yang buruk akan tetap terpelihara dan berpotensi semakin rapuh karena orang menjadi buta untuk melakukan lebih baik. Konsekuensinya, dengan hanya mengandalkan sifat kepedean dan tanpa masukan maka akan jatuh ke jurang yang lebih dalam lagi. Ujungnya sih jelas, profesionalisme yang minim dan mengedepankan bentuk personal akan melahirkan reaksi baperan dan sentitit terhadap dinamika yang berlangsung.
Padahal kritik itu tidak sekedar evaluasi dari pihak lain. Bentuk kritik yang lebih dewasa adalah kritik diri atau self-critique yang dibangun atas kebiasaan mandiri untuk melihat apakah ada yang kurang dalam proses yang berlangsung, sebelum meminta masukan dari orang lain. Ini bukan hal yang mudah karena orang bisa cenderung terlalu gampang percaya diri, enggan untuk belajar lebih banyak, mengandalkan apa yang sudah ada, menganggap masukan seadanya, bahkan menolak evaluasi karena dianggap menyakitkan secara personal. Maka apa yang harus dilakukan? Di dalam dunia profesional, biasanya sangat penting untuk melihat portofolio yang bersangkutan. Semakin banyak dan tuntas ia melakukan kerja bersama orang lain, maka peluang untuk melihatnya terbiasa di dalam dinamika dan proses yang bersifat evaluatif juga semakin tinggi. Dengan kata lain, untuk bisa dan terbiasa dengan kritik, haruslah sering terjun melakukan proses kerja yang membutuhkan relasi kolektif, terbiasa diperintah dan memerintah karena tau dan mau mencapai tujuan bersama.
“Many fail to grasp what they have seen, and cannot judge what they have learned, although they tell themselves they know.”~ Heraclitus
Jadi kritik itu barang mahal tak ternilai. Menghindar dari kritik, sama halnya dengan menghindar dari proses bersama, mengedepankan nilai personal, bahkan masuk ke dalam kategori membahayakan jika dilihat dari Dunning-Kruger Effect di atas. Dinamika dan proses kerja menjadi mandeg gegara sikap sok tau serta tidak pernah ingin belajar lebih banyak. Belum lagi ogah menerima masukan. Tapi maunya terima hasil keren. Kan konyol. Itulah sebabnya tidak banyak orang yang berkembang dan kemudian bisa maju gegara menolak kritik. Boro-boro dengar orang lain, dengar dirinya sendiri saja mungkin tidak pernah dilakukan sebab segala sesuatu berjalan instingtif dan selektif berdasarkan risiko atau kepentingan. Lempar kacang aja ya?