Tuntutan dunia kerja jaman sekarang udah pasti gila-gilaan. Apalagi kerja profesional di kantor. Ada SOP, KPI, panduan segala macam. Terlebih yang bekerja dari luar seperti rumah atau tempat terpencil, ada jadwal ketat yang harus dipenuhi tentang apa saja yang harus bisa diselesaikan pada hari itu. Persoalannya adalah seringkali jadwal itu tidak bisa seratus persen bekerja. Ada saja yang missed, ada saja yang ketinggalan. Alasan umum biasanya waktu yang tidak cukup. Akan tetapi jika dilihat lebih dalam, selain soal kejelasan delivery ternyata banyak orang yang harus pula melakukan komunikasi, kolaborasi, koordinasi dan perubahan konteks yang sering memakan waktu. Misalnya saja koordinasi untuk satu tugas bisa berubah dan harus dijadwal ulang kembali hanya karena ada keinginan pihak lain. Itu tidak keliru, tapi orang yang menjalankan akhirnya berpikir ah ini buang waktu juga lantas kapan selesainya?
Situasi semacam itu kemudian menjadi salah satu pemicu orang untuk kemudian merasa apa yang dilakukan masih belum cukup produktif. Masih banyak koordinasi tugas yang belum dicapai, buka seluruh e-mail, hadir meeting kemudian melakukan komunikasi, kolaborasi, koordinasi hingga konteks berubah lagi. Semua tidak pernah cukup. Apalagi jika porsi meeting mengambil banyak waktu sementara eksekusi kerjanya belum juga jalan. Omongan bisa berlarut dengan negosiasi, kompromi dan instruksi tanpa mampu membedakan cara apa yang efisien untuk dilakukan. Ada rekanan yang harusnya bisa dinegosiasi tapi cukup kasih instruksi. Ada pula yang sebenarnya cukup dikasih instruksi malah jadi kompromi. Apa yang harus bisa diselesaikan pada hari dan waktu kerja, kemudian molor sampai malam. Pekerjaan dibawa hingga ke rumah bahkan pada akhir pekan. Lantas darimana kita tau bahwa apa yang dilakukan itu adalah cukup? Nggak pernah.
Situasi itulah yang kemudian disebut dengan productivity shame. Ada rasa malu untuk tidak menjadi produktif. Orang kemudian berkutat dengan apa saja dan sungkan jika dianggap nggak ngapa-ngapain. Segala hiburan dan kesenangan kemudian bisa dialhikan. Waktunya istirahat dipake buat kerja. Hal ini jelas berpengaruh kepada kebahagiaan, kreativitas dan bahkan produktivitas itu sendiri. Hal-hal kecil pritilan nggak penting dicoba juga untuk diselesaikan tanpa berpikir soal prioritas. Maka istilah multitasking itu sebenarnya menyebalkan juga. Tidak ada produktivitas yang bisa dihasilkan secara maksimal jika seseorang harus lompat sana sini mengerjakan ini itu. Tapi itu pilihan. Apalagi di jaman gini punya dua tiga profesi dan kesibukan yang similar rasanya sah-sah saja. Ada orang yang bisa bekerja sebagai digital marketing di dua tiga perusahaan sekaligus. Produk yang dijual bisa jadi serupa. Belum lagi kalo dia launch produk sendiri yang juga mirip. Palugada, apa lu mau gua ada sudah berkembang menjadi problem etis di dalam bisnis dan kerja profesional.
Hal itu kemudian diperburuk dengan adanya Zeigarnik Effect, dimana orang cenderung mengingat hal-hal kecil pritilan yang belum terselesaikan dan sebaliknya malah lupa dengan hal-hal besar yang lebih strategis dan masih harus diperbaiki. Prioritas bisa menjadi kacau karena tebang pilih. Ditambah pula dengan completion bias, dimana orang lebih termotivasi untuk menuntaskan tugas yang sudah pede untuk bisa diselesaikan. Kepuasan untuk menyelesaikan itu sudah ada di belakang kepala dan puas terlebih dahulu. Lantas bagaimana kalo ternyata gagal semisal karena faktor eksternal yang tidak bisa dikuasai? Akhirnya malah jadi semakin pilah pilih dan kebingungan sendiri. Tapi tetap harus kelihatan produktif kan?
“We live in a world where hard work is rewarded and having needs and limitations is seen as a source of shame. It's no wonder so many of us are constantly overexerting ourselves, saying yes out of fear of how we'll be perceived for saying no.” ~Devon Price, Laziness Does Not Exist
Maka menjadi selalu tetap kelihatan produktif itu sebenarnya semu. Tidak produktif malah. Di satu sisi ada orang yang kecanduan untuk selalu sibuk, di sisi lain ada juga yang blagak sibuk padahal keder mau mulai dari mana. Untuk bisa lepas dari situasi demikian memang nggak mudah. Orang harus mampu bisa melepaskan diri atau punya kemampuan detach dari dari rutinitas, mampu menjadi rileks, punya hobi sebagai alternatif kesibukan dan juga kontrol yang kuat untuk bisa memutuskan koneksi dalam dunia yang berbeda-beda. Jadi nggak heran jika ada orang yang ponselnya nggak bisa dihubungi selama Sabtu Minggu, menghilang sejenak atau nggak bisa diganggu dengan alasan 'urusan keluarga'. Di level itu masih sulit membedakan mana yang memang berani melepas beban kerja, mana yang cuma alesan doang. Sebab pekerjaan yang ideal adalah dimana seseorang bisa menjalaninya tanpa merasa butuh hari libur, sebab kerja sudah identik dengan liburan. Nah! Soal mindset lagi kan?