Banyak orang suka dengan kemewahan. Terlebih jika kemewahan itu identik dengan barang berharga mahal meski sebenarnya tidak hanya itu. Misalnya membeli dan memiliki barang seperti tas, sepatu, jam tangan, busana, hingga pernak pernik yang melekat di tubuh kayak topi, kacamata, ikat pinggang dan sebagainya. Godaan barang mewah (luxury goods) sebenarnya sulit dihindari. Ini bukan soal fungsi, melainkan juga prestise. Ada logo yang terlihat sehingga disebut branded, sehingga impresi menjadi penting bagi tidak saja bagi diri sendiri tetapi orang lain yang melihatnya.
Idealnya, kepemilikan barang mewah hanya cocok bagi dua kategori, yakni mereka yang punya penghasilan sangat besar dengan pekerjaan bagus berjangka panjang, atau orang yang memang punya kebiasaan menabung secara gila-gilaan. Akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Membeli barang mewah sudah pasti berbiaya mahal. Pembelian secara kredit jelas akan tidak mudah dalam soal pelunasan berikut bunga. Banyak orang yang tidak termasuk ke dalam kedua kategori tersebut, justru menjadi pihak yang paling sering berburu luxury goods. Misalnya saja para pejabat dan keluarganya. Ada prestise yang harus dibangun dengan tampil di depan publik. Mereka bisa saja berpenghasilan besar, seperti dari gaji dan tunjangan. Tapi berapa lama mereka mejabat? Berapa lama berkarir? Orang yang menjadi pejabat karir, biasanya mencapai titik puncak hanya dalam beberapa tahun terakhir menjelang pensiun. Orang yang masuk melalui jalur politik juga tidak selamanya dalam posisi tinggi. Jadi, mumpung selagi di puncak ya rauplah kesempatan sebisa dan sebanyak mungkin. Maka tidak mengherankan jika hal tersebut selalu menimbulkan potensi dan peluang untuk korupsi.
Hal yang sama juga terjadi dengan kelas masyarakat yang secara finansial tidak mampu untuk memiliki barang mewah. Keinginan untuk mengesankan orang lain bahwa mereka mampu bisa jadi muncul. Sebab siapa sih yang tidak ingin dipandang lebih? Dengan kepemilikan barang seolah-olah mewah, maka ada harapan bahwa mereka juga bisa untuk naik kelas sosial meski secara superfisial atau di permukaan saja. Keinginan semacam itu tentu saja gayung bersambut dengan apa yang dapat disediakan oleh pasar. Maka muncul istilah barang KW, grade AAA, mirroring quality, 1:1, premium level dan sebagainya. Harga jelas lebih murah, bisa sekitar 30% bahkan 10% dari barang asli. Meski demikian hal termudah untuk membedakannya secara kasat mata adalah apa yang ada di tataran ini tidaklah sama dengan katalog barang asli, atau bawa saja ke butik/official stores seandainya ragu dan ingin membuktikan.
Jadi ada kata kunci yang sama dalam soal kepemilikan barang mewah, yakni prestise. Lantas apa penyebabnya? Mengapa orang mengejar barang mewah padahal mereka belum tentu dalam kondisi finansial yang sehat dan kemudian bertindak irasional dalam membeli? Terlebih sering ditemukan fakta juga bahwa mereka yang benar-benar mampu dan masuk dalam dua kategori di atas justru cenderung menghindari pembelian semacam itu dengan alasan fungsional. Toh secara prestise orang yang benar-benar kaya, tidak membutuhkan barang merah untuk memperlihatkan bahwa mereka kaya kan? Penyebab pertama adalah soal persepsi; banyak orang melihat bahwa barang yang biasa-biasa saja dan murah itu tidak meyakinkan sama sekali bahkan buruk. Barang mewah dan mahal dianggap punya kualitas yang lebih baik dan keren. Persepsi semacam ini jelas keliru, sebab kualitas suatu barang tidak hanya diukur dari harga saja. Akan tetapi jangankan konsumen, banyak juga produsen yang minder dengan buatannya sendiri sehingga melakukan branding terhadap barangnya dengan nama-nama berbau asing sehingga seolah buatan luar negeri. Misalnya produksi sepatu kulit wanita yang gegara namanya sering dikira dari Italia padahal buatan Sidoarjo. Bagus? Sudah pasti. Malah harganya lebih murah dari yang impor negara sana.
"In an age of distraction, nothing can feel more luxurious than paying attention." ~Pico Lyer
Penyebab kedua adalah barang mewah dianggap dapat meningkatkan rasa percaya diri atau rasa memiliki yang belum pernah ada. Seolah dengan menggunakan barang mewah, maka ada perubahan bagaimana persepsi melihat diri sendiri dan bagaimana orang lain melihatnya. Ini bukan soal ukuran mampu nggak mampu saja, tapi juga atribut imaterial seperti tambah keren, tambah bagus, tambah cantik, tambah ganteng dan sebagainya. Padahal itu semua hanya ilusi. Mereka yang benar-benar super kaya dan bisa dikatakan punya penghasilan sangat besar seperti Steve Jobs, Mark Zuckeberg, Elon Musk tampil hanya dengan t-shirt bahkan warnanya itu-itu aja. Jadi level percaya diri itu sebenarnya tidak ditentukan oleh barang mewah yang menyolok. Mereka dibicarakan orang karena kapasitas personalnya dan bukan karena apa yang melekat di tubuhnya. Demikian halnya dengan keinginan memiliki barang merah karena belum punya. Ini bisa dimaklumi secara psikologis bahwa urgensi untuk memiliki itu adalah sebagai kompensasi. Ya mungkin dulu susah nggak pernah terbeli sehingga pada saat sekarang entah karena mampu, mumpung atau nyicil ya dipaksakan untuk punya dan kalo bisa sebanyak-banyaknya. Jadi jangan heran kalo banyak orang dewasa jadi kayak anak kecil melihat mainan ketika mengejar barang mewah.
Itu menjadi penyebab ketiga, bahwa ada sense of accomplihsment jika membeli barang mewah. Seperti ada yang kurang kalo belum punya. dengan memiliki satu, dua atau lebih maka dengan memilikinya akan ada kepuasan diri yang muncul. Lantas apakah ketiga penyebab tersebut dapat dikatakan secara umum membuat orang menjadi bertindak irasional, berpeluang melaklukan korupsi atau pansos? Tergantung. Tentu saja pembelian barang mewah harus dilakukan secara hati-hati. Selain ukuran kemampuan finansial untuk membayar, adakah kegunaannya selain untuk sekedar kelihatan mewah? Artinya, ada perhitungan untuk melihat fungsi, kualitas, specialty, bahkan impresi yang dihasilkan. Hal yang menarik adalah specialty sebab ini membutuhkan pengetahuan tentang rentang consumer goods yang mumpuni. Ada brand yang memang punya kekhususan atau identik dengan suatu jenis barang dan penawaran lain dari brand itu tidak lebih dari gimmick. Misalnya Dupont itu korek api, Montblanc pulpen, LV tas cewek, dan sebagainya. Selain itu specialty juga menjadi pertimbangan untuk memilih. Misalnya, lebih baik membeli jam tangan merek Casio ketimbang Rolex palsu. Jika hanya melakukan perbandingan merek, umumnya orang mengira Casio lebih rendah secara harga dan kualitas dibandingkan Rolex. Padahal Casio bisa didapat dari harga ratusan ribu hingga puluhan juta Rupiah tergantung model. Rolex palsu sudah pasti tetap mahal sampai belasan juta Rupiah. Kualitas yang palsu ini sudah jelas beda dengan Casio yang memiliki harga sama. Jadi untuk mengesankan orang lain, juga harus hati-hati dan pilih-pilih jangan sampe malu sendiri.
Tapi begitulah konsumen di Indonesia; ogah ribet, mau yang termurah tapi kualitas terbaik, mau yang paling mahal pun dianggap sudah pasti eksklusif. Logika keliru ini berlaku di mana-mana termasuk jasa prostitusi. Emangnya situ pikir sudah beli yang termahal sudah pasti eksklusif nggak ada yang make gitu? Ternyata ada puluhan bahkan ratusan orang lain yang berpikir sama. Anyeplah kalo sampe tau.