Banyak orang di dalam hidupnya pengen bisa berkualitas. Artinya, nggak cuma sekedar gitu-gitu doang. Ada yang berpayah-payah mencari jalan keluar, ada yang cuma curi-curi kesempatan alias oportunistik, ada juga yang cuma nadah tangan nunggu orang lain yang memberi. Apapun caranya, tetap ada tanda-tanda bahwa orang beneran bisa meningkatkan kualitas hidup. Mulai dari yang nggak ngerti apa-apa bisa jadi paham, mulai dari yang nggak tau bisa jadi tau dan mempraktekkan. Jadi bisa dibedakan antara yang memang serius, atau mereka yang sekedar pura-pura, ikut-ikutan, atau kagetan.
Tanda pertama adalah soal fokus alias paham apa yang mau dituju atau dikejar. Pengen jadi orang kaya? Ya minimal punya jejaring orang kaya, bermain dengan orang kaya, mengejar peluang untuk bagaimana berbisnis dengan pola pikir layaknya orang kaya. Istilahnya, kalo mau jadi rampok ya jangan main sama copet. Sama aja kalo mau jadi pintar, cerdas atau sesuatu yan sifatnya intangible alias tidak terlihat. Fokus adalah sedari awal sudah mempersiapkan dan membatasi diri hanya kepada sasaran yang dituju. Bayangin kalo kebanyakan rencana hanya gegara untuk mengakomodasi segala hal tanp kenal prioritas. Udah gitu, tujuannya pun tidak strategis, melainkan hanya bersifat taktis. Nggak ada pencapaian jangka panjang, hanya cuma sekedar nyambung dan kelihatan sibuk.
Tanda kedua adalah soal pembelajaran itu adalah seumur hidup. Nggak ada yang berhenti seketika dan kemudian tepuk dada kayak udah ngerti segala. Akan tetapi model yang cuma tau setengah-setengah juga banyak. Levelnya udah bukan nggak tau, tapi bisa tau semua juga nggak. Akhirnya cuma setengah tau. Itu sama kayak cuma baca teori, praktek nggak pernah, tapi berasa bisa kasih solusi. Gimana nggak ngeri? Makanya banyak yang bilnag pakar itu ini, ngaku penulis tapi cuma bikin status, ngaku peneliti tapi cuma gegara kewajiban kuliah, atau ngaku profesional tapi sebenarnya cuma pernah sesekali. Mau mengklaim diri seperti apapun, proses belajar adalah hal yang harus diterima dan dijalani. Bukan cuma sekedar motsani alias comot sana sini.
Maka tanda yang ketiga adalah berani buat rendah hati untuk bilang tau atau tidak tau. Sebab ada juga orang yang keras dengan hidupnya sendiri. Harus merasa serba bisa dan serba tau. Harus bisa diakui jadi seseorang atau sesuatu. Padahal itu pun gegara cuma sekedar iri melihat orang lain dan merasa dirinya harus bisa lebih. Berproses? Kelamaan. Adanya mimikri, replika dan meniru terlebih dahulu. Meski jadinya kelas kawe tapi ya nggak tau malu. Sifat seperti ini akhirnya menimbulkan arogansi dan kepercayaan diri yang semu. Dibalik itu semua tetap ada rasa minder yang tak berkesudahan. Dari luar seolah berisi, tapi di dalam kopong tak berarti.
Itulah sebabnya tanda keempat adalah ketika orang diminta untuk berbagi ilmu. Mereka yang punya isi nggak akan segan untuk berbagi sebab melihat orang lain yang lebih muda, sehat, segar, waras, dan mau maju untuk bisa tampil adalah hal yang menyenangkan dan menambah kualitas hidup. Berbeda yang merasa kepinteran sendiri atau seperti sebelumnya, nggak punya apa-apa untuk dipahami tapi maunya kelihatan hebat di mata orang lain. Dengan berbagi maka ada pembuktian secara tidak langsung bahwa yang bersangkutan tidak sungkan untuk memperlihatkan bukan saja pengetahuan, tapi juga pengalaman dan peringatan akan proses yang sudah berlangsung.
Oleh karena itu, tanda yang kelima adalah pencapaian seperti apapun tidak ada ujungnya. Orang menjadi tidak cepat puas, sama-sama semangat mau belajar dan akhirnya bisa saling bekerjasama dengan baik. Bayangkan jika udah sok tau, berlagak bisa, tapi ketika ditanya ya wajar saja pelit karena memang nggak ada apa-apa, akhirnya sendirian dan paling-paling hanya sorong sana sini meminta orang lain untuk mengerjakan. Padahal orang yang semakin berpengalaman, adalah semakin terbuka dan juga masih tetap melihat proses adalah hal yang tidak bisa ditinggalkan.
"To create an extraordinary quality of life, you must create a vision that's not only obtainable, but that is sustainable." ~Tony Robbins
Jadi bisakah orang meningkatkan kualitas hidup dengan seketika? Jawabannya sudah pasti tidak. Meningkatkan kualitas semacam itu mensyaratkan kesadaran penuh akan proses yg panjang, tidak setengah-setengah dan juga bukan kulitnya doang, apalagi hanya sekedar untuk kelihatan bagus dan keren di depan orang lain. Akan tetapi ketika proses itu sudah dimulai, meski berpayah dan berdarah tetap akan selalu berbuah manis. Persis seperti buah mangga. Nggak mau kayak gitu? ya sudah jadilah buah kecapi; udah luarnya keras, kudu dibanting dulu, isinya kelihatan menggiurkan tapi cuma bisa diemut-emut doang. Abis itu dilepehin.Kasian.