Dalam menuju cita-cita atau tujuan tertentu, baik personal, kolektif atau bahkan profesional sekali pun, umumnya orang berupaya untuk menjadi yang terbaik. Memberi definisi yang lebih dalam terhadap yang terbaik atau the best itu seringkali berakhir dengan memilukan. Mengapa? Sebab menjadi terbaik, ada kalanya orang menyamakan segala proses maupun hasil dengan menjadi sempurna atau perfect. Memang sih banyak yang juga paham bahwa sempurna itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Akan tetapi mengejar sempurna membuat orang jadi perfeksionis; nggak boleh ada kekeliruan yang dilakukan, nggak terima ada kesalahan yang dibuat, bahkan nggak ada satu pun yang bisa luput dari pengamatannya. Lebih parahnya lagi, menjadi perfeksionis baik secara langsung atau tidak membuat kondisi tersebut berlaku sama tidak saja pada diri sendiri tetapi juga orang lain di sekelilingnya. Tuntutan menjadi lebih tinggi, keras, bahkan memaksa agar situasi bisa terkontrol dan dirinya menjadi pusat segala baik pengambilan kebijakan hingga hal-hal teknis sekali pun.
Maka tidak mengherankan jika perfeksionisme melahirkan pribadi yang kaku macem lap kanebo kering. Udah nggak rela menolerir ketidak sempurnaan, nggak gampang pula untuk mengubah haluan jika situasi tidak memungkinkan. Baginya, prinsip adalah nomor satu yang harus bisa dipraktekkan berikut hal yang sekecil-kecilnya. Sedikit saja ada kegagalan, kemandegan atau bahkan ketidaksesuaian maka seorang perfeksionis bisa menjadi sangat murka, kecewa dan menganggap dunia tidak berpihak kepadanya. Sedikit saja ada perbedaan sudut pandang, maka orang lain dianggap merintangi jalan bahkan berlawanan yang mau tidak mau juga harus disingkirkan. Itulah sebabnya perfeksionisme menjadi sebuah mimpi buruk dalam banyak dimensi relasi baik personal, kolektif hingga profesional. Seringkali seorang perfeksionis jadi merasa kesepian dan harus mempertebal pertahanan diri, meninggikan tembok ego agar perasaan yang sedemikian rapuh tidak diganggu oleh segala hal yang tidak bisa dikontrol.
Lantas bagaimana cara yang tepat untuk mengejar ambisi, angan atau tujuan yang idealnya bisa berlangsung lebih ringan dan tidak membebani mental seperti halnya perfeksionisme? Jawaban yang mudah adalah dengan mengubah strategi dengan mengejar berdasarkan keunggulan atau excellence. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan yang cukup signifikan antara menjadi sempurna dengan menjadi unggul. Pertama, menjadi sempurna adalah sama menginginkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bisa dirasakan baik sebagai proses maupun hasil. Akan tetapi menjadi sempurna memberi penekanan kepada kompetensi dan produktivitas, dibandingkan hasil yang harus tanpa cacat tak bernoda dalam kesempurnaan. Di dalam pencapaian berbasis kompetensi dan produktivitas, sudah pasti ada proses learning atau belajar yang secara intensif memberikan pengalaman jatuh bangun. Kedua, di dalam mencari keunggulan ada keluwesan baik secara strategis maupun taktis, ketimbang sempurna yang berfokus kepada hasil dan menolak segala modifikasi atau perubahan yang mungkin terjadi. Segala peluang menjadi mungkin, segala kesempatan bisa tumbuh dan segala tantangan bisa terjadi. Maka antisipasi yang dilakukan akan jauh lebih bisa membaca situasi dan dengan cepat melakukan perubahan cara tanpa melupakan tujuan. Ketiga, dengan menjalani proses menjadi unggul, maka hal yang pertama kali harus dilakukan adalah berhadapan dengan diri sendiri sebelum dengan yang lain. Sebab sudah pasti, pertarungan tersengit adalah berkompetisi dengan diri sendiri, menaklukan diri, membiasakan untuk mengambil keputusan dengan cepat sekaligus matang, serta menyesuaikan diri dengan segala kemungkinan yang terjadi.
“Have no fear of perfection - you'll never reach it.” ~Salvador Dali
Itulah sebabnya dengan mencari jalan berbasis keunggulan, orang akan lebih terbuka, mampu menghadapi kritik, serta bernegosiasi agar hasil yang ingin didapat bisa menjadi yang terbaik. Sebaliknya, mereka perfeksionis akan menjadi kelewat percaya diri, ogah berdialog, enggan dipotong, tapi mudah patah saat hasil tidak tercapai. Apalagi kalo dikritik, bawaanya bisa misuh-misuh menganggap semua musuh. Kapok? Belum tentu. malah bisa jadi lebih buruk dari keledai karena mengulang cara yang sama. Padahal prosesnya saja akan jauh lebih bisa memperlihatkan ketimbang hasil, bahwa dengan menjadi ngeyelan mau sempurna untuk bisa sukses yang nggak bakal dapet apa-apa. Mimpi demi mimpi bisa diumbar dijalani. Konsep demi konsep bisa digelontorkan dengan merasa sudah ada kepastian. Tapi hasil bisa jadi sangat minimalis. Kalo dah gitu jelas terbalik dan kalah sama celana dalam yang dengan bahan minimal bisa memberi hasil maksimal. Masih kepala batu? Ya sudah biarkan.