Buat banyak orang, seringkali urusan emosi menjadi persoalan yang sulit untuk dikelola dengan baik. Penyebabnya bisa banyak hal. Mulai dari didikan atau perlakuan yang diterima saat belia, trauma, bahkan kebiasaan-kebiasaan yang secara sadar atau tidak, terus dipupuk untuk menyebaban ledakan emosi menjadi menggila. Skalanya juga macem-macem. Ada yang hanya letupan kecil, ada pula yang sampai pada situasi chaotic ketika secara fisik sudah mulai menyebabkan kerusakan pada benda atau manusia. Jenisnya pun juga beragam. Ada yang punya kecenderungan destruksi ke dalam hingga muncul perasaan mau bunuh diri, ada juga yang destruksi keluar sampai mau bunuh orang lain.
Singkatnya, mengelola emosi bukan soal gampang. Selain itu, orang juga terpaku kepada pernyataan untuk tidak boleh marah agar emosi bisa diredam. Tentunya, itu keliru besar. Marah adalah hal yang natural. Marah adalah ekspresi entah ketidakpuasan atau ketidak setujuan, atau juga ketidaksepakatan. Marah harus dikeluarkan agar orang tahu bahwa ekspresi atau keberatan itu ada. Jika tidak ada amarah, bagaimana orang tau ada kekeliruan? Selain itu marah juga energi. Maka yang menjadi soal adalah bagaimana mengeluarkan rasa marah, bukan marah itu sendiri. Harus bisa tarik ulur, harus bisa menyampaikan dengan baik tanpa bersikap destruktif, harus bisa pula diterima sebagai warning atau penanda bagi orang lain sebagai bagian dari komunikasi.
Hal yang paling sering kita lihat adalah marah saat berhadapan dengan orang lain, semisal menyangkut servicing atau pelayanan. Sudah banyak cerita tentang pelanggan, customer, pembeli atau orang yang menggunakan jasa kemudian mengekspresikan ketidakpuasan dengan cara buruk. Melempar dan merusak produk, mengancam bahkan memukul kadang ada juga yang melakukan. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Padahal jalur penyelesaian melalui komplain sudah tersedia. Tinggal perkara apakah mau menggunakan, apakah mau menyampingkan rasa kesal, apakah mau juga mengingat bahwa yang dicari adalah solusi dan bukan masalah baru.
Jika si pemarah karena lemah, maka si diam adalah manja.
Jadi ekspresi marah yang diredam akan menimbulkan stress yang berlebihan. Sebaliknya, marah tanpa terkontrol juga akan menjadi desktruktif dan kebanyakan orang tidak akan menduga konsekuensinya. Selain masalah baru, pukul balik, tuntutan hukum juga bisa terjadi. Hal yang menarik adalah mengelola emosi adalah seni menjadi dewasa. Ketika marah memuncak, harus pandai-pandai dan berkepala dingin pula untuk mengekspresikannya. Jadi orang yang kasar, beringas dan bahkan destruktif adalah mereka yang sebenarnya lemah, rapuh dan tidak berdaya. Sikap keras berlebihan yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa mereka cemas jika dilihat seolah tidak tegas dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Padahal sih emang iya.
Itulah sebabnya menghadapi orang marah yang berlebihan adalah harus tetap berkepala dingin. Ini bukan maksud untuk sekedar menenangkan, tetapi juga menunjukkan bahwa yang bersangkutan jauh lebih kuat dibandingkan dengan si lemah pemarah itu. Lain halnya dengan orang yang seolah meredam emosi ketika menghadapi masalah. Seringkali malah berakhir buruk pula dengan bersikap tidak peduli, diam, nggak mau tegoran, buang muka, balik punggung. Jika si pemarah karena lemah, maka si diam adalah manja. Kebiasaan untuk selalu dibujuk dan dipenuhi sejak kecil bisa menjadi demikian. Keduanya adalah bentuk komunikasi yang sama buruk. Urusan menjadi tidak pernah selesai, berkepanjangan dan bikin masalah baru.
Maka menjadi dewasa itu sulit. Rapuh dan manja itu mudah. Ketika hidup di dunia masih penuh masalah, kok masih sempat-sempatnya menua dengan sikap seperti itu? Nggak bisa nahan esmosih ntar.