Mengelola stress itu nggak gampang. Banyak yang mengira bahwa hidup harus tanpa tekanan. Padahal dengan adanya tekanan, hidup bisa berkembang. Bayangin orang yang cuma santai nggak ngapa-ngapain seumur hidup berharap tak pernah punya masalah. Sudah pasti jenuh, monoton dan nggak ada isinya. Akan tetapi tekanan yang berlebih juga bisa bikin orang gampang emosi. Perasaan atau mood jadi gampang berubah, sensi dan baper. Dengan kata lain, semakin dewasa seseorang maka butuh kemampuan untuk bisa mengelola stress dengan baik. Terlalu banyak bisa bikin bego nggak bisa mikir, terlalu sedikit membuat diri nggak kemana-mana.
Akan tetapi apa dampaknya jika stress tidak dapat dikelola dengan baik? Meski katanya semakin dewasa harus semakin bisa mengelola, tapi beneran nggak gampang. Tidak semua orang dewasa bisa beneran mengatur tekanan. Ada yang cuma diperam, diendap dan akhirnya mati berdiri. Ada juga yang dengan mudah melampiaskan kepada sekelilingnya tanpa mikir panjang. Tau-tau mati di dalam bui. Jadi tidak semua orang punya kesadaran yang sama, bahkan dalam hal ini cenderung rendah. Kesadaran semacam ini nggak ada hubungannya kecerdasan kognitif atau kesabaran emosional. Ada yang cukup cerdas, ada yang bisa sabar tapi bingung dengan situasi. Ujungnya mereka merasa diri benar dan akhirnya menyalahkan orang lain sebagai sumber stress.
Sebab hal yang harus diingat adalah orang tidak dapat mengontrol apapun yang datang dari luar, tapi biar gimana tetap punya kemampuan untuk mengendalikan apa yang datang dari dalam diri. Sumber stress bisa dari mana aja. Soal relasi, pekerjaan, hubungan apapun dengan orang lain, bahkan situasi yang nggak ada sangkut pautnya secara langsung. mau dicegah? Nggak bakalan bisa. Mau menghindar? Sampai kapan. Ujungnya hanya mati-matian mencoba untuk mengantisipasi tapi nggak kepegang juga. Ketika sudah merasa benar dan menyalahkan orang lain, maka sumber stress bisa jadi keliru. Tekanan semakin membesar dan relasi bertambah buruk. Maka nggak heran, mereka yang salah kaprah seperti ini tidak dapat mengelola stress bahkan hubungan yang normal dengan orang lain. Empati menjadi minim dan akhirnya dianggap sebagai red flag dalam berinteraksi.
“The grass is not 'greener' on the other side – it is just another shade of green.” ~Annika Sorensen, Take Stress from Chaos to Calm
Dengan empati yang minim, itu menandakan bahwa orang tersebut abai terhadap lingkungan dan cenderung memberi prioritas terhadap diri sendiri. Ia juga tidak dapoat menempatkan diri secara tepat. Sering ngomong di waktu yang salah, atau sebaliknya malah diam ketika dibutuhkan. Sibuk membandingkan diri dengan orang lain, tidak mendengarkan bahkan menyamakan siapapun yang ada di hadapannya. Dengan kata lain, ia kesulitan untuk bisa menempatkan diri apakah ada di atas atau dibawah. Mikirnya cuma disamping terus dan beranggapan bahwa semua adalah sama. Padahal mana ada yang sama? Tentu saja orang punya kelebihan, kekurangan dan masalah masing-masing. Ketidakmampuan berkembang secara sosial semacam itulah yang membuatnya tidak cerdas dalam menimbang situasi. Stress yang harusnya bisa dikelola, malah semakin membuat diri menjadi overthinking dan overreacted. Apa nggak pegel?
Jadi bijaklah dalam melihat situasi. Tidak semua harus dipikirkan, disamakan atau bahkan dibandingkan. Masalah yang datang dari luar malah sebenarnya bisa jadi nggak seberapa daripada reaksi yang muncul dari dalam diri ketika melihat masalah itu muncul. Terus masih mau bilang bebas dari stress gitu?