Dalam sehari-hari, banyak ditemukan orang dengan sikap kepala batu, enggan mengalah, merasa lebih hebat dan bahkan mengecilkan orang lain. Sikap semacam itu memang belum tentu berurusan dengan kejiwaan. Akan tetapi jika sudah terjadi pada titik ekstrim dan kronis, maka bisa jadi yang bersangkutan adalah pengidap megalomania. Arti dari megalomania sendiri adalah keyakinan bahwa seseorang merasa punya kelebihan, kekuasaan, keagungan yang membuatnya lebih hebat dari orang lain. Ini bukan sekedar sombong, tengil, atau belagu tapi sudah punya kaitan dengan narcissistic personality disorder dan delusion grandeur alias waham kebesaran.
Sampai di sini, biasanya orang mengira para megalomania adalah identik dengan elit politik atau pemerintahan. Memang bisa jadi demikian, mengingat profesi dan posisi sosial semacam itu punya potensi erat dengan kekuasaan. Bahkan banyak para megalomania adalah orang yang terkenal di dalam sejarah dunia politik. Contoh saja seperti Alexander Agung, Genghis Khan dan Napoleon Bonaparte. Hanya saja megalomania juga bisa juga dialami orang biasa, yang tidak ada kaitannya dengan status semacam itu. Dalam lapis sosial terbawah sekalipun, megalomania juga dapat ditemukan. Ironis memang, jika contoh di atas bisa menguasai dunia, maka yang ini maunya juga sama; menguasai lingkungannya.
Kenapa bisa sih jadi megalomania? Berbagai penelitian psikologi memperlihatkan bahwa sekurangnya ada tiga penyebab utama. Pertama, adanya perasaan diremehkan terus-menerus sejak kecil. Bisa jadi tuntutan yang sangat keras dari orang tua atau keluarga. Bisa jadi beban moral sosial yang tinggi untuk dapat memberi panutan. Bisa jadi pula ternyata lingkungannya juga berisi megalomania. Sehingga yang bersangkutan nggak punya pilihan lain untuk mulai berperilaku sama. Kedua, situasi nyata yang dihadapi tersebut tidak memberikan harapan. Meski punya ekspektasi tinggi tapi lingkungannya gitu-gitu doang. Sama sekali nggak berkembang. Satu-satunya yang bisa memberi harapan adalah dengan bersikap overoptimis, serba bisa dan serba lebih sebagai impian yang harus diraih. Awalnya ini bersifat positif tetapi karena berlebihan, maka cenderung menumbuhkan delusi kemampuan yang mengatasi segala hal. Kok bisa? Gegara nggak ada yang bisa dilakukan karena situasi terbatas, maka harapan berubah menjadi fantasi. Memelihara fantasi secara terus menerus akhirnya sulit membedakannya dengan kenyataan. Lama-lama jadi delusi. Ketiga dan terpenting, adalah soal kemiskinan dalam arti ketidakberdayaan secara sosial dan ekonomi. Meski sudah delusional tapi karena kenyataan yang dihadapi berbeda, maka cara untuk mengatasi situasi adalah dengan tetap memelihara rasa penting dan mulai meremehkan orang lain. Jadi nggak heran jika ada perbedaan orang yang beneran sukses dalam hidupnya dengan para megalomania. Orang sukses berjuang untuk bisa meningkatkan kemampuan dan taraf hidupnya, megalomania mencoba sukses dengan meninggikan diri melalui cara mengecilkan orang lain.
Maka ciri megalomania sudah jelas yang utama adalah merasa penting dalam segala situasi dan tempat. dengan demikian membutuhkan kekaguman dari orang lain secara terus menerus dan berlebihan. Maka tidak heran jika megalomania berusaha tampil keren, baik hati, umbar pesona, merasa populer, banyak penggemar, berfantasi kenal banyak orang terkenal yang berujung klaim tentang kesempurnaan tak berdasar dan tak ada habisnya. Awalnya bisa jadi banyak yang ketipu. Kok ada ya orang punya imaji berupa potensi sehebat itu? Ketika ada orang lain mencoba untuk membuktikan, maka si megalomania akan marah dan merasa tidak dihargai. Betapa tidak, sebab mereka merasa lebih unggul dan hanya bisa bergaul dengan orang-orang yang dianggap istimewa. Kritik yang diberikan akan dianggap sebagai hinaan eksistensial dan merusak reputasinya.
Konsekuensinya, megalomania akan mencoba mendominasi pembicaraan atau memandang rendah orang lain. Setiap pembicaraan akan menjadi kacau karena secara konseptual tidak menguasai secara nyata dan hanya mengikuti fantasi. Pengen begini begitu, ada janji keberhasilan meski nyatanya itu pun juga hasil kerja orang lain. Dia sih nggak bakal ngapa-ngapain. Maka tidak heran pula jika seorang pengidap megalomania akan unjuk diri bisa ini itu, menguasai segala pembahasan. Tapi begitu ada beban kerja, akan minta orang lain yang melakukan. Kalau pun ada topik yang tidak dikuasai, maka jurus klasik yang digunakan adalah bercanda kasar dan menjatuhkan orang. Tujuannya supaya perhatian banyak orang menjadi bergeser sementara agar pembicaraan awal tidak berkepanjangan. Teknik bercanda kasar juga digunakan untuk menunjukkan bahwa dia lebih dominan dibandingkan yang lain. Jika ada yang marah atau tersinggung, maka ia akan menjadi senang karena mampu mengontrol lawan secara emosional. Nggak mempan? Gantian berlagak marah dan tersinggung. Dramatis jadinya.
Itulah sebabnya megalomania akan memanfaatkan orang lain untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Dengan gratis tentunya. Mana mampu, eh mau bayar. Pemanfaatan itu bisa juga dibalik dengan berlagak menyumbang, atau berkontribusi paling banyak dan paling besar. Namanya juga harus lebih unggul dari yang lain kan? Akan tetapi buntutnya tetap harus bisa dipegang, sebab megalomania amat mudah memutarbalikkan fakta dan mencederai janji. Hampir setiap perkataan tidak bisa dijadikan jaminan. Berjanji bukanlah untuk ditepati melainkan hanyalah sekedar untuk menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan bahwa omongannya ditunggu orang lain. Mau mendapat yang terbaik atau menjadi terbaik, tetapi sebisa mungkin tidak berkeringat dan tidak berbiaya. Jalan termudah adalah memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Jadi seorang megalomania akan senang jika berada dalam lingkungan yang bisa dikendalikan. Mereka yang mau berteman dengannya adalah yang terlalu pasif, atau bahkan menurutnya terlalu bodoh sehingga patuh dan dapat disuruh-suruh alias dieksploitasi. Itu sama persis ketika si megalomania berusaha untuk menguasai orang lain dengan cara memperoleh fakta-fakta yang bisa menjatuhkan. Mempermalukan orang adalah teknik agar dapat mudah untuk menundukkan, walau kenyataannya belum tentu seperti yang diharapkan. Selain berperilaku arogan, maka seorang megalomania juga tidak punya kemampuan untuk mengenali kebutuhan atau perasaan orang lain. Semua diterjemahkan melalui versinya sendiri. Jangankan kawan, orang terdekatnya pun juga belum tentu bisa dipahami lantaran ketiadaan empati. Apa pun yang muncul seperti fantasi popularitas, kemesraan, kebaikan atau kebahagiaan tidak lain adalah dunia semu yang sengaja diciptakan. Hidup dalam dunianya sendiri dan menarik-narik orang lain agar mau turut manut patuh.
“There is always Joker to see through the delusion. Generation succeeds generation, but there is a fool walking the earth who is never ravaged by time.” ~ Jostein Gaarder, The Solitaire Mystery
Bisakah megalomania disembuhkan? Atau bagaimana berhadapan dengan orang yang berciri semacam itu? Jawabannya, jelas sulit. Terlebih jika orang yang merasa sempurna tentu akan berpikir tidak ada yang salah dengan mereka. Cara terbaik adalah dengan mendiamkan, namun sekaligus juga tegas menentukan batas-batas mana dalam relasi sosial yang tidak boleh dilanggar. Intinya, jangan menghibur badut dengan datang ke sirkus. Sebab megalomania gemar juga tanpa basa basi alias nggak ngerti sopan santun. Buatnya, mana ada hal semacam itu yang kalo dalam bahasa Jawa disebut pakewuh atau unggah ungguh. Selain membatasi, maka mencari perkawanan, komunitas, atau habitat baru sangat disarankan agar punya perspektif yang lebih kaya ketimbang bergaul dengan megalomania yang sibuk dengan dunianya sendiri. Emangnya situ penting? Ya nggaklah mbangg.