Konon kabarnya sekarang banyak anak muda yang mengalami quarter life crisis. Memasuki usia 20an rasanya dunia berbeda dengan imajinasi dan harapan ketika masih belasan tahun. Mulai dari relasi sosial hingga urusan profesional, ada aja yang bikin baper dan kemudian mengambil banyak keputusan yang bersifat impulsif. Jadi Krisis Perempat Baya itu seolah jadi topik dan perbincangan yang tiada habisnya. Sebab biar gimana juga usia segitu di jaman sekarang punya tanggung jawab yang besar. jangan dibandingin sama remaja dewasa di jaman Orba, masih bisa cekakak cekikik meski harus jadi demonstran atau entah apa. Sekarang? udah cepet-cepet disuruh cari kerja, kawin, beranak pinak dan kemudian pusingnya dimulai.
Tapi kali ini urusan perempat baya itu dikesampingkan dulu. Masih panjang jalannya. Sebab yang lebih panjang dan meluas adalah midlife crisis alias Krisis Paruh Baya. Mengapa? Sebab umumnya banyak orang yang menyangka krisis paruh baya adalah apa yang terjadi pada om-om galau limapuluh tahunan. Padahal rentang krisis itu adalah usia 35 hingga 65 tahun. Kenapa bisa panjang? Jawabnya simple, sebab usia kematangan fisik dan idealnya pemikiran juga dimulai pada rentang segitu. Demikian juga dengan tanggung jawab yang diharapkan sejalan dengan kemapanan usia dalam soal karir, pernikahan, dan aspek kehidupan lain.
Lagi-lagi kenyataannya ya nggak demikian. Jika usia 25 tahunan masih berkutat dengan problem subyektif, maka usia 35 ke atas mau nggak mau mesti ngajak unsur lain seperti anak, pasangan, keluarga kecil hingga besar. Urusan profesional juga bukan lagi soal pencapaian individu tapi juga dinamika yang terjadi dengan rekan kerja, atasan dan kini bawahan. Jadi bapernya juga semakin kompleks. Tidak lagi hanya mengukur diri sendiri, tapi sudah mulai gelisah dan membandingkan dengan orang lain. Kok kerjaan dia lebih enak ya? Kok dia sudah punya pasangan ya? Kok gajinya lebih gede? Kok udah punya anak? Kok begini begitu nggak ada habisnya.
Selain bikin komparasi yang nggak jelas juntrungannya, kembali lagi melihat diri sendiri. Jika usia 25 tahunan masih bisa bikin permakluman, maka sekarang sudah nggak mungkin. Udah tambah tua keriput kisut peot, kerjaan gitu-gitu doang, nggak punya karir, duit kurang terus, lantas kapan bisa kaya, kapan bisa punya rumah bagus, kapan bisa nggak numpang, kapan bisa pengsiun, kapan bisa hidup lebih santai. Terlebih menjadi generasi roti lapis harus siap menghidupi banyak orang. Maka mulailah mindset berubah. Harus bisa menarik buat orang lain, ogah kehilangan kharisma padahal berwibawa juga nggak, mau berubah suasana tapi takut melepas rasa nyaman, pengan hidup lebih baik tapi masih ada tanggungan.
“If you are pining for youth I think it produces a stereotypical old man because you only live in memory, you live in a place that doesn’t exist. Aging is an extraordinary process where you become the person you always should have been.” ~David Bowie
Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam rentang usia 35 hingga 65 tahun orang kemudian mengambil keputusan yang drastis tapi kebanyakan malah jadi impulsif. Semakin tambah umur, semakin tidak tenang gegara masih belum ajeg meski sudah jumpalitan salto atas bawah. Jadinya malah garing kan? Kegalauan akut yang tiada tara sejak usia belia kok masih dipelihara juga. Merasa selalu ketinggalan padahal dulu juga diem aja, Nggak heran juga kalo ada istilah telat nakal. Muda terlalu takut-takut, tua malah coba-coba. Jadi bayangin aja, baper dan galau yang dimulai sejak lepas usia remaja hingga menjadi manula itu tiada putus. Apa iya seumur hidup? Kan nggak lucu.
Padahal mengatasi krisis mulai dari Quarter Life, Midlife bahkan mungkin terakhir End Life ya nggak gampang. Cita-cita kecil dimanja, muda hura-hura, tua kaya raya dan mati masuk surga susahnya setengah mati. Bisa bikin insomnia. Harus bener-bener punya refkleksi berpikir dan keputusan-keputusan strategis yang bisa diambil secara cepat tanp babibu. Resikonya sekali salah pilih atau bahkan tidak memilih, ya punya dampak luar biasa ke depan. Belum lagi faktor eksternal seperti kompetisi, saling jegal, konflik dan pandemi. Masa iye ntar udah kecil menderita, muda durjana, tua kere sengsara, mati masuk neraka Apapun bisa berubah, tapi setidaknya galau itu bandulnya terlalu kencang ke kanan atau ke kiri. Bandel mah tetep boleh, asal nggak bodoh. Masa udah kakek-nenek tapi cuma gitu-gitu doang? Kesian amat. Nikmatin ajalah.