Jika seseorang dibohongi habis-habisan, tentunya hal itu akan berpengaruh terhadap dirinya. Mulai dari rasa percaya diri yang runtuh, sampai ketidakmampuan untuk menatap dunia. Rasanya malu setengah mati, kayak orang goblok, berpikir kok gampang banget bisa dikadalin. Mending sama buaya, ini pun kelas bengkarung alias kadal kebun. Udah percaya banget tapi jadi sia-sia dan malah dicurangi. Dengan perasaan semacam itu, maka akan lebih mudah untuk menyalahkan diri sendiri. Efek yang kemudian terjadi bukan saja membuat diri menjadi apatis tapi bisa kontra-produktif; mau ngapain juga jadi malas tidak bersemangat. Ujungnya ya rebahan lagi.
Tapi bagaimana jika seseorang membohongi diri sendiri? Apakah itu mungkin terjadi? Jelas sangat mungkin. Ketika dirinya tidak siap dengan konsekuensi hasil apa yang dihadapi atau dikerjakan, maka membohongi diri sendiri bisa dilakukan. Contoh sederhana ya nyontek pas ujian. Hasilnya bisa bagus tapi ya basi lah. Nggak bakal ada kepuasan di situ. Semata hanya nikmat untuk bisa lulus saja. Itu serupa dengan curang pake cheat saat main game. Tujuannya semata karena pengen menang aja. Bukan melatih dan menikmati proses permainan. Keduanya nikmat tapi nyebelin sebab gitu-gitu doang pastinya. Membosankan.
Hal lain yang lebih serius semisal soal pekerjaan. Ada orang yang memilih suatu profesi tertentu bukan karena memang suka, tapi itu gegara ikut-ikutan aja, dipaksa orang tua atau memang nggak ada pilihan lain. Ketika bekerja sudah pasti tidak ada passion atau hasrat untuk menjadikannya sekedar mesin kegiatan atau mencari duit bulanan. Malah sibuk ngurusin hal lain. Istilah, ya ngobyek dan sedapat mungkin pekerjaan yang ada sekarang ada di ambang batas minimal saja supaya nggak disorot, nggak diomelin dan nggak kena pinalti. Kalo ditanya, apakah senang? Jawabnya iya, sebab memang itulah basis paling minim yang harus dijaga. Perkara prestasi, pencapaian dan lainnya ya bodo amat. Paling banter ikutin standar aja. Situasi semacam itu bisa saja berjalan dalam waktu lama dan publik melihatnya sebagai sebuah karir. Sama halnya dengan keluar dari sebuah pekerjaan, menghibur diri bisa mendapat yang lebih baik. Begitu dapat pekerjaan baru yang ternyata gajinya dibawah yang lama, situasinya tidak lebih baik dan lingkungannya buruk terus mau bilang apa? Paling banter ngucap ya bersyukur daripada tidak sama sekali. Nikmat bener. Tapi tetap nyebelin dan nipu.
Menipu diri juga bisa terjadi pada hal-hal yang sifatnya lebih personal. Pilihan-pilihan di dalam hidup berkisar cari jodoh, lihat orang lain menikah, punya anak dan tipikal kebahagiaan yang biasa dilihat dengan mata telanjang. Apa yang terjadi semacam itu menutupi kawin cerai, kekerasan dalam rumah tangga, anak ngeblangsak dan rumah tangga morat marit kurang duit. Keinginan yang begitu kuat tanpa pernah mempelajari lebih lanjut seringkali membuat sebuah keputusan menjadi ceroboh dan tidak berdaya hasil. Maunya meniru contoh ideal, tapi ternyata nggak segampang itu. Begitu dicoba dan ternyata jelek, ya kembali lagi menghibur diri. Bah itu adalah suatu kesialan atau kehilafan semata. Tapi yang biasa terjadi adalah kemudian membenturkan kepala berulang kali alias mencoba kembali dengan cara yang sama. Nggak ada kapoknya? Bagus. Cuma bisa hancur itu kepala kan.
"Life is essentially a cheat and its conditions are those of defeat; the redeeming things are not happiness and pleasure but the deeper satisfactions that come out of struggle." ~F. Scott Fitzgerald
Lantas mengapa orang menipu diri sendiri? Pertama, itu adalah cara sederhana untuk memulihkan kepercayaan dan memotivasi diri. Meski isinya kosong, tetap harus ditelan mentah-mentah. Kalo keseringan dan tanpa refleksi yang memadai terhadap tindakan, jelas jadi bahaya. Orang bisa menjadi terlalu percaya diri dan tetap saja nabrak tembok kagak kapok. Kedua, menipu diri adalah langkah awal dari pendewasaan jika selanjutnya mencari alternatif pola pikir yang sehat dan tajam menganalisis masalah. Sebab banyak tindakan menipu diri jadi identik dengan menghibur diri; tenang aja lu kagak kenape-nape, udah bener kok, lanjut terus, blabla. Tidak selamanya orang butuh penghiburan terus menerus. Dengan menipu, menghibur kemudian jadi membenarkan situasi. Padahal biar gimana orang kembali harus jujur kan? Kalo bego ya bego aja. Kalo dibohongin ya lu bego. Supaya nggak bego maka kudu pinter. Caranya ya belajar dari kesalahan dan perbaiki cara jika tujuannya masih tetap sama. Mereka yang nggak belajar, ya akan menarik diri, apatis, ngumpet, atau sebaliknya jedotin kepala ke tembok lagi.
Jadi nggak usah malu. Hibur-hibur dikit tak mengapa. Tapi jangan keterusan bohongi diri sendiri, apalagi balas ganti bohongi orang lain. Ntar capek sendiri nggak ada yang bantuin. Sokor.