Salah satu jargon psikologi positif dan juga industri motivasi adalah kalimat 'menjadi diri sendiri', atau menjadi otentik. Menjadi diri sendiri konon adalah benteng mujarab untuk menjawab segala keriuhan, kepalsuan dan kepura-puraan agar tidak ikut arus di luar sana. Menjadi diri sendiri adalah antitesa terhadap segala interaksi imitasi dan khayalan yang menyesatkan.
Akan tetapi, benarkah demikan? Menjadi otentik justru adalah pernyataan yang harus digali lebih dalam. Seperti apa dan seberapa otentikkah dirimu? Atau jangan-jangan ketika bicara jati diri sesungguhnya tidak ada sama sekali. Otentisitas tidak lebih dari situasi yang bukan netral, tetapi menolak segala perubahan yang terjadi di luar sana. Bisa jadi ketika mengacu kepada situasi yang otentik, adalah tidak lebih dari titik nol yang belum bergerak kemana-mana. Otentisitas yang sesungguhnya ibarat bayi yang baru bisa merengek, belum mampu berbicara, bernegosisasi atau berdiplomasi.
Jadi ujaran untuk menjadi otentik sebenarnya adalah menyesatkan. Selama manusia hidup, akan ada banyak pengaruh yang membentuk dirinya baik dari lingkungan terkecil seperti keluarga hingga terbesar seperti negara. Tidak ada sesuatu yang bersifat murni. Pengambilan keputusan seperti apapun justru adalah pertimbangan yang juga memperhitungkan faktor eksternal selain internal. Sebab jika hanya menimbang berdasarkan diri saja, maka otentisitas tidak lebih dari egoisme yang dibungkus oleh kepura-puraan.
Maka menjadi diri sendiri adalah bujukan untuk memberi pembenaran terhadap kemalasan diri. Seolah-olah dengan kebebasan yang bersifat subyektif untuk menentukan pilihan, apa yang dilakukan adalah murni demi pribadi. Alih-alih menyebut dunia luar adalah penuh kepalsuan, maka diri sendiri juga bisa berpura-pura. Atas nama menjadi diri sendiri, maka pilihan bebas diambil tanpa peduli terhadap orang lain. Biasanya mereka yang mengatakan diri otentik atau orisinal semacam ini adalah orang yang nggak kemana-mana juga. Sibuk menjaga supaya tidak terpengaruh dunia luar, tapi enggan bergerak sebab interaksi apapun pada hakekatnya adalah manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kalau sudah menyangkut soal kebutuhan, bayar tagihan tunggakan dan cicilan, atau urusan perut maka Sang Otentik akan keluar dari sarang, melepas sebagian kecil ego hingga mendapatkan yang diinginkan.
Tapi disitulah paradoksnya manusia. Mau menjadi diri sendiri tapi enggan mengakui kalau hidupnya masih bergantung kepada orang lain. mau bersosialisasi tapi sebatas hanya pada kebutuhan personal. lantas ngapain juga percaya kepada jargon semacam itu? Memotivasi malah ujungnya cuma jadi pembenaran. kalo emang dasarnya pemalas, ya ngapain harus bilang jadi otentik? Intinya, cuma enggan bergerak maju. Itu saja.