Orang Endonesah itu dikenal suka gotong royong; membagi beban bersama biar cepat kelar tuntas. Bener juga sih, daripada dikerjain sendirian bisa mati berdiri ya mending bagi-bagi. Tapi tidak semua yang dibagi itu kemudian menjadi ringan. Ada kalanya justru malah beban yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Maka muncul istilah generasi roti lapis alias sandwich generation. Seperti halnya roti lapis berisi daging, maka si daging kemudian diapit oleh roti lapisan atas dan bawah. Ini artinya mereka yang menjadi tulang punggung keluarga. Sibuk mengurusi anak, tapi juga dipusingkan oleh ngurusin orangtua dan saudara sebagai beban keluarga.
Istilah ini nggak menjadi monopoli satu generasi saja seperti misalnya X atau Y. Problem ini sudah ada sejak dulu bahkan sewaktu masih jamannya silent generation yang tumbuh setelah negara ini merdeka. Ini generasi mbah buyut yang ada pas jaman lagi susah. Orang tua mereka terpecah dalam kelas sosial antara priyayi dan jelata. Ada yang mampu dan ada yang tidak. Oleh karena jaman perang, maka berhemat menjadi sebuah keharusan terutama kebutuhan dasar seperti makan. Jadi jangan heran kalo mbah buyut begitu perhitungan soal bagi-bagi makanan meski kelihatannya sepele. Buah yang tumbuh di pohon pun bisa dihitung dan kalo mateng bakal ditaruh di bawah ranjang sampe ada yang membusuk. Baru sesudahnya muncul boomers dan X yang sudah mulai bisa hepi-hepi dikit. Saat kecil dididik keras oleh para silencers dan ketika saat ini sudah mapan, mereka gantian mendidik milenial dengan kemanjaan karena nggak mau nasib mereka sebagai orang tua yang harus berjuang kemudian diulangi oleh anak-anaknya. Jadilah agak memanjakan memang; nganterin sekolah hingga kuliah, ribet ngurusin resepsi kelak sampe mimpi ngemong cucu.
Sekarang para boomers dan X ini bentar lagi mau pengsiun. Mereka juga siap-siap berinvestasi dan hitung utang budi kepada anak yang selama ini sudah beranjak dewasa, udah dapet kerja dan siap menggantikan peran mereka sebagai tulang punggung keluarga besar. harap diingat, bahwa keluarga besar itu nggak cuma satu tapi dua termasuk mertua sekalian. Maka kompleksitas pernikahan itu menjadi sangat tinggi. menikah bukan lagi soal kompromi ego, menegosiasi kebiasaan buruk, atau membuat titik temu tujuan masing-masing. Menikah juga berarti memberi nafkah kepada pasangan dan keturunan, tetapi juga tidak melupakan sanak saudara dan orang tua. Semua ada jatahnya masing-masing. Lupakan omong kosong soal kemandirian, pengambilan keputusan berdua, atau cita-cita mulia berumah tangga. Sebab menjadi roti lapis itu adalah sebuah keniscayaan yang akan dialami oleh siapa saja, kecuali kedua pasangan adalah anak tunggal yatim piatu panti asuhan.
Mengapa fenomena generasi roti lapis itu ada dan menjadi warisan setiap generasi? Pawabannya sederhana. Pertama, sistem sosial negara ini belum mampu menjamin dan mengakomodasi secara baik kehidupan setiap orang mulai dari dilahirkan hingga menjelang ajal. Pengsiun ya sekedar pengsiun. Nilainya nggak seberapa. Apalagi yang statusnya bukan pegawai negeri. Masih harus berusaha terus meski sudah uzur sampai badan nggak sanggup lagi. Kalo sudah lelah, siapa lagi yang biasa diharapkan mengurus? Sudah pasti anak atau orang terdekat. Bagaimana mereka yang tidak mampu? ya semampunya ajalah. Dianggap sebagai bakti. kalo kagak lu kualat masuk neraka. Kedua, itu juga yang membentuk paradigma bahwa rumah jompo atau panti wreda dan panti lainnya harus dihindari. Publik menganggap memasukkan orang tua mereka ke sana adalah bentuk kejahatan psikologis yang tak termaafkan. Orangtua harus di rumah. Perkara dia kesekpian kek, kasih kesibukan dengan mengurus cucu. Maka nggak heran menjadi orang tua di negara ini nggak ada matinya; dulu sibuk ngurusin anak. Anak udah gede dan kerja, gantian ngangon cucu. Cucu udah gede ya begitu terus selanjutnya. Peran semacam itu diwariskan terus menerus.
“Ending the toxic cycle within your own life isn't easy. When you don't come from a healthy family, you do your best to ensure a healthy one comes from you.” ~Steve Maraboli
Jadi nggak heran jika urusan utang budi adalah soal besar. Orangtua beranggapan sudah mendidik dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. wajarlah jika mereka mengatur anak meski si anak sudah besar. Mandiri sih omong kosong karena dikit-dikit balik lagi manggil anak. Sementara si anak beranggapan bahwa menuruti orang tua adalah pahala. Ketika orangtua sudah melemah maka mereka wajib mengurusinya termasuk juga gantian mengatur anak yang ada. Lantas apa masalahnya? Pertama, generasi roti lapis mewariskan problem sosial yang tidak bisa diputus begitu saja oleh sistem. Pola kekerabatan membuat masyarakat masih memiliki jiwa tradisional meski kehidupan sudah beranjak modern. Tidak ada kemajuan dan kompensasi yang berarti. Padahal panti wreda malah menyenangkan buat mereka yang kesepian, ketimbang merasa jadi beban. Kedua, generasi roti lapis mewariskan dependensi atau ketergantungan satu dengan yang lain. maka wajar jika anak nggak bisa mandiri dan orangtua tetap memeras mereka. Terus aja begitu sampe lebaran kuda. Percuma menyebut diri sebagai pemberontak, berpikir progresif, modern, ingin perubahan, seandainya pada saat tua nanti kembali menjadi konservatif dan berpikir bahwa hidup sudah ditanggung keluarga. Apa nggak jijik tuh? Haruslah pastinya.