Taruhlah sejumlah kepiting hidup di dalam ember. Jika ada satu yang merangkak berjalan hendak keluar, maka yang lain dengan sigap menarik dirinya. Terus aja begitu. Tidak ada yang bisa bergerak maju sendirian. Beramai-ramai? Tidak juga. Akhirnya karena selalu menarik yang lain, maka semua tetap berkumpul di dalam ember. Sampai kemudian babang sifud memindahkannya ke dalam panci untuk siap direbus. Begitulah mental kepiting. Kalo gua nggak bisa, apalagi elu nggak boleh. Begitu pikirnya.
Demikian pula dengan masyarakat kita. Jika ada satu orang yang hendak maju, bakal dilihat sebagai figur yang ambisius. Jika ada yang ingin berbuat sesuatu untuk tampil lebih baik untuk dirinya, maka yang lain akan nyinyir dengan bicara soal kepantasan, self-entitlement, moral bahkan juga hal-hal personal yang diungkit. “gua kan tau siapa dia”, atau“dulu sih orangnya gak gitu” adalah omongan yang bakal sering muncul untuk membicarakan yang bersangkutan. Apakah ada yang mendukung orang itu? Tidak. Apakah ada yang dirugikan? Tidak. Apakah kemudian mereka berani ngomong terang-terangan? Juga tidak. Paling banter jadi bahan gunjingan, gosip, ghibah yang pasang surut tergantung situasi. Masih mending kepiting dong langsung narik ya?
Jadi wajar, kalau kita nggak pernah maju. Setiap tindakan maunya dilihat sebagai bentuk kolektif, sebab bergerak sendiri konon adalah tabu. Akan tetapi bergerombol pun juga tidak pernah menghasilkan. Larut dalam delusi keagungan yang seolah sudah berbuat banyak, tapi sebenarnya tidak pernah secara pasti menghasilkan apa-apa. Maka siapa pun juga yang mau bergerak tampil, lebih baik relakan. Dukung kalo bisa. Kalau tidak mampu mendukung, doakan. Tidak mau melihat, tutup mata. Sebab kembali lagi pertanyaan untuknya adalah berlaku sama kepada diri kita, emangnya situ sudah berbuat apa dan sejauh mana? Sebab sirik melihat orang lain sukses, adalah bagian dari hidup yang didera ketakutan. Nah!