Aktivitas menulis harian telah kembali dimulai setelah nyaris sepanjang Juli beristirahat dan mengalihkan diri kepada kegiatan lain. Apakah kegiatan itu sudah selesai? Tidak juga. Beban semakin berat tapi memang sudah sepantasnya untuk dinikmati lantaran setimpal dengan yang dikerjakan. Mungkin demikian.
-----
Sebuah pengambilan keputusan atau decision making punya banyak cara dan juga teori untuk melakukannya. Sebab keputusan apapun yang diambil seseorang, terutama berkaitan dengan hidupnya sudah pasti akan ada banyak pertimbangan yang menjadi landasan. Oleh karena itu, teori-teori yang melandasi adalah punya ukuran tentang seberapa rasional seseorang melakukan sebuah keputusan terutama di bawah resiko dan ketidakpastian. Kedua kondisi tersebut menyebabkan pertimbangan haruslah menggunakan pilihan-pilihan rasional, entah urusan pribadi, bisnis, kerja, organisasi dan sebagainya. Tujuannya sih sudah jelas, agar ada efisiensi dan juga hasil yang bisa memuaskan.
Tapi mengambil keputusan itu jelas nggak gampang. Pertama bila terlalu banyak faktor eksternal yang jadi bahan perhitungan dan orang tergoda untuk mengambil semua tanpa menyisirnya terlebih dulu. Mana yang jadi prioritas, mana yang penting, mana yang bahkan nggak dihitung pun juga diborong masuk. Faktor eksternal itu bisa macam-macam, mulai dari kepentingan orang lain, omongan orang, gunjingan, gosip, data yang irelevan, bahkan pertimbangan soal reputasi. Jika pengambilan keputusan adalah soal efisiensi, maka jelas faktor eksternal yang terlalu banyak akan membuatnya menjadi lamban bahkan tidak berdampak sama sekali. Kok bisa gitu? Sebab mau menyenangkan semua orang itu godaan. Pengambilan keputusan jelas ada untung dan rugi. Memaksimalisasi keuntungan dan meminimalisasi kerugian itu wajar. Menjadi tidak wajar jika semua mau diuntungkan tanpa ada kerugian sama sekali. Dengan kata lain, si pengambil keputusan terlalu lemah untuk mau menghitung dan menghadapi resiko di bawah ketidakpastian. Padahal dua kondisi itulah yang memaksa orang harus bisa serasional mungkin.
Kedua, pengambilan keputusan juga menjadi berat jika unsur ketidakpastian menjadi penghalang utama yang tidak bisa dihadapi. Situasi menjadi berlarut-larut. Sudah nggak berani dengan resiko, waktu pun menjadi bahan perjudian untuk menyelesaikan masalah. Pada titik ini orang tergoda untuk tidak mengambil keputusan sama sekali. Biarkan waktu yang menyelesaikan. Padahal, dengan membiarkan ada kemungkinan masalah menjadi semakin menumpuk, membelit bahkan semakin tidak bisa diurai. Masalah menjadi semakin kompleks bahkan butuh penyelesaian yang lebih rumit dan dalam. Selain itu, resiko yang masih berharap bisa dikendalikan, kemudian mulai semakin melebar dan mengena kepada orang lain. Semakin menunda, semakin out of control. Apalagi ini urusannya bukan sekedar rasional, tetapi ada juga pertimbangan emosional. Mampus kan jadinya.
Maka pengambilan keputusan jelas mensyaratkan bahwa untuk bisa menjadi rasional juga butuh keberanian dan kekuatan tersendiri. Orang boleh saja mengklaim diri cerdas dan bijak, tapi nggak ada hubungannya sama sekali jika sikap rasional dingin itu tidak dilakukan sama sekali dalam mengambil keputusan. Dingin? sudah pasti unsur emosional harus disingkirkan dulu. Pengambilan keputusan atas dasar resiko tentunya mempertimbangkan untung rugi, besar kecil, prioritas dan mana yang harus masuk sebagai acuan. Ketidakpastian harus dihadapi dengan sesuatu yang pasti dan mampu mengubah situasi. Oleh karena itu, ada konsekuensi bahwa sebuah keputusan pada akhirnya bisa membalik keadaan, atau justru malah menimbulkan masalah baru. Akan tetapi setidaknya apapun yang muncul sudah bisa masuk di dalam kalkulasi yang membutuhkan waktu cepat tanpa menunda.
Oleh karena itu pengambilan keputusan juga berarti menyiapkan diri kepada resiko dan ketidakpastian baru yang akan muncul. Faktor eksternal memang tidak dapat dikontrol, namun dengan melakukan seleksi dan pertimbangan matang, maka hal yang tidak penting jelas akan bisa dilewatkan. Ngapain juga semuanya dihitung kan? Nah, menghitung yang ada pun juga harus bisa cepat. Bisa cepat juga lantaran kebiasaan. Jadi semakin banyak masalah, harusnya orang semakin senang karena bisa punya kesempatan untuk melatih pengambilan keputusan secara efisien. Jadi buat mereka yang sudah terbiasa, akan wajar melihat ada hal-hal yang harus dikelola dan ada pula yang harus disingkirkan. Ada resiko yang harus dibuang, ada juga yang harus ditanggung. Ada ketidakpastian yang harus dienyahkan, ada juga yang harus dibiarkan. Memilah dengan cepat dan efisien itulah sebagai bentuk pengambilan keputusan, apapun teorinya. Nah, masa gitu aja nggak bisa?