Sikap gigih atau ulet atau bahasa kerennya fortitude itu suka diremehkan. Dianggap cuma buat orang-orang yang ketinggalan, memulai segala sesuatu dari nol, nggak punya kelebihan, dan hanya mengandalkan keras kepala untuk bisa mempelajari dan menguasai apa yang ada di depan mata. Salah gitu? Nggaklah. Justru dengan merasa tertinggal, nggak punya apa-apa, mulai dengan tangan kosong, nggak ada yang tersisa sebagai bekal adalah bisa memicu seseorang untuk menjadi berhasil. Maka tidak heran jika gigih atau ulet biasanya jadi monopoli mereka yang tertantang untuk bisa sukses.
Lain halnya dengan bakat atau aptitude, di mana sikap ini justru melekat pada orang-orang yang merasa beruntung, bawaan orok, atau punya privilese sosial sehingga mudah untuk bisa mengakses, menjalankan, menguasai dan menikmati apa yang ada. Bakat atau talenta dianggap adalah karunia yang tidak boleh disia-siakan. Tidak semua orang punya, sehingga bakat hanya ada buat mereka yang terpilih. Dengan bakat, seperti kemampuan atau kecerdasan maka idealnya mereka yang punya itu bisa berbuat jauh lebih banyak, lebih berguna dan lebih berdampak ketimbang yang tidak.
Tapi apa iya urusan fortitude dan aptitude sesederhana itu? Jelas tidak. Persepsi yang berkembang kemudian menyatakan bahwa kerja keras adalah upaya orang yang tidak beruntung agar bisa mengakses, sedangkan bakat adalah keberuntungan buat orang yang bisa mendapatkan sesuatu tapi belum tentu juga digunakan secara baik. Dengan kata lain, ada perbedaan yang signifikan dari bagaimana orang memandang keduanya. Itu sama seperti mengatakan bahwa orang bodoh harus kerja keras, orang pintar ongkang-ongkang kaki. Merasa bodoh adalah bagus, sebab memaksa diri untuk menjadi tidak bodoh. Tapi bagaimana yang sudah merasa pintar? Akan sakit hati begitu tau bahwa dirinya tidak berguna atau lebih dari sekedar kebodohan.
Maka menjadi jelas bahwa sebenarnya dunia nggak butuh orang yang merasa pintar. Cerdas bisa jadi bawaan, tapi jika tidak diasah dan tidak digunakan ya sama aja bo'ong. Itu sama seperti belajar logika. Ternyata logika tidak jadi rejeki nomplok buat yang merasa pintar. Belajar logika seperti silogisme pun butuh latihan terus menerus agar orang bisa menguasainya. Tidak ada orang pinter dari lahir sudah menguasai logika. Memudahkan sih iya, tapi bakal kalah dengan orang yang mampu berlogika karena terbiasa melatih diri.
Itulah sebabnya urusan aptitude jadi bisa nggak bernilai dan kalah ketika berhadapan dengan fortitude. Ngaku pinter tapi males-malesan, berasa sotoy tapi nggak pernah ngapa-ngapain, duduk manis ngopi minta rokok nggak ada kerjanya sama sekali. Itu menyia-nyiakan bakat. Lama-lama bakal terkikir oleh mereka yang kerja keras, merasa bodoh dan ingin tau, kemudian bisa menguasai apa yang selama ini cuma jadi akses tak bermanfaat buat si berbakat.
"When you're a liar, a person of low moral fortitude, really any explanation you need to be true can be true. Especially if you're smart enough. You can figure out a way to justify anything." ~Samuel Witwer
Meski demikian, di atas kerja keras dan bakat, masih ada yang lebih penting yakni attitude atau perilaku. Apapun hasil akhir dari sebuah pencapaian, jelas bukan omong kosong yang kemudian membuat orang jadi tengil, belagu, meremehkan orang lain bahkan menganggap cuma dirinya yang berhasil. Yaelah, mending karena kerja keras. Ini kadang merasa beruntung. Sama kayak dapet bea siswa, gegara pintar? Kagaklah, cuma beruntung bisa lolos jadi kalo dapet juga jangan jumawa. Ketika lulus apa bisa ngasih sesuatu yang berbeda? Ujungnya ikut antrian juga meski kali ini urusannya cari kerja.
Di balik semua keberhasilan memang ada harga yang tetap harus dibayar dan sudah jelas privilese tidak selamanya ada dan kalo ada pun pasti nanggung. Maka nggak heran jika sebagian orang ujungnya bakal nepu, pura-pura sibuk biar dibilang kerja keras. Atau malah melihat dunia cuma dari ujung balik tempat tidur. Sudahlah, ego memang tidak membuat diri pergi kemana-mana.