Banyak orang gegabah dalam pengambilan keputusan. Entah ragu, balik arah atau tabrak depan. Ujungnya bermula dari menyalahkan orang lain sebagai sumber masalah, hingga kemudian menyalahkan diri sendiri gegara keputusan yang salah. Pengambilan keputusan model begini biasanya dilakukan secara terburu-buru, menitikberatkan faktor emosi, tidak mengkalkulasi data dengan baik, tidak melihat resiko yang bakal muncul dan terburuk tidak punya exit plan sama sekali. Apa yang terjadi kemudian? paling banter menghibur diri namun tetap larut dalam pola yang sama, situasi yang sama, meski masalah dan orang sudah berbeda.
Tapi seberapa banyak yang kemudian sadar bahwa pola pengambilan keputusan semacam itu juga bermula dari situasi kesehatan mental yang buruk. Hampir semua enggan mengakui bahwa dirinya bermasalah. Lebih cenderung menyalahkan orang lain sehingga keputusan drastis harus diambil. Misalnya saja, orang yang mengeluh bahwa setiap orang selalu curang, tidak suka bahkan memanfaatkan dirinya. Kalo si A, B, C dan seterusnya dianggap sama, maka ada kemungkinan justru dirinyalah yang bermasalah dan bukan orang lain. Akan selalu ada pola yang tidak mungkin keliru. Tapi buat orang yang sakit secara mental, menyalahkan orang lain jauh lebih memungkinkan ketimbang memeriksa apa ada yang salah dari diri sendiri.
Lantas kenapa kesehatan jiwa menjadi penting dalam pengambilan keputusan? Pertama sudah pasti adalah fungsi kognitif yang terganggu. Faktor seperti kecemasan, depresi trauma dan stress akan menganggu kemampuan kognitif seperti atensi, ingantan dan pemecahan masalah. Orang yang terganggu mentalnya akan sulit untuk bisa mengumpulkan informasi, menganalisa kemungkinan-kemungkinan, dan membuat pertimbangan secara obyektif. Gimana bisa melihat dengan proporsional jika trauma aja nggak pernah selesai?
Kedua, situasi emosional juga memainkan peranan penting. Bayangkan jika emosi tidak stabil maka sudah pasti pengambilan keputusan akan dilatari oleh motivasi yang rendah dan pandangan yang pesimis. Belum lagi jika situasi semacam itu diperburuk oleh depresi dan trauma yang terjadi. Apa yang diputuskan selalu bertolak dari situasi tersebut, sehingga meski masalah berbeda-beda tetap saja dipotong dengan pisau dan cara yang sama.
Ketiga, persepsi terhadap risiko juga menjadi terganggu sehingga tidak mampu melihat dan menimbang untung rugi, peluang dan kemungkinan apa yang akan terjadi jika sebuah keputusan diambil. Terlebih jika pertimbangan yang ada dilakukan karena kecemasan akan "jangan-jangan begini begitu", memperbesar ancaman dan bentuk negatif yang masih ada di bayangan. Akibatnya keputusan yang diambil menjadi berantakan, atau bahkan ada juga yang kebingungan tidak siap dengan risiko yang muncul.
Keempat, sikap impulsif yang berlebihan berlebihan gegara gejala attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Gejala seperti itu membuat keputusan dengan segera, tanpa memperhitungkan konsekuensi jangka panjang atau mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada. Sikap impulsif sudah pasti memang bikin menyesal kemudian, tapi lucunya banyak juga yang berupaya menikmati risiko sebagai sebuah bentuk positif alias menghibur diri. Anggap aja pengalaman, atau pasti ada hikmahnya. Ya memang sih, tapi kalo terus berulang bukankah itu sebuah pola mental yang tidak sehat?
Kelima, rasa percaya diri yang bermasalah sudah tentu akan menghasilkan situasi yang tidak menyenangkan. Kalo nggak pede, maka biasanya orang tidak mampu membuat pilihan-pilihan yang baik alias mengambang atau mengandalkan orang lain untuk membuat keputusan. Sikap kepedean juga berakhir dengan pertimbangan yang subyektif, tergesa-gesa dan sok kuat menanggung risiko padahal sebenarnya panik juga.
“Everything you've worked for can go to waste with only one wrong decision.”~Auliq Ice
Tapi sekali lagi, itu adalah pola. Orang yang waras dan tajam pikir sudah pasti bukan sekedar merawat pikirannya tetapi juga secara jeli mampu melihat bahwa ada yang salah selama ini di dalam dirinya. Pikiran yang sesat sudah pasti berdampak pada jiwa yang tumpul. Kalo pola buruk terus berulang dan tidak disadari, sudah pasti setiap pengambilan keputusan akan selalu jatuh pada kondisi yang sama; gagal total tapi kemudian menghibur diri sampai kemudian kelak terjadi lagi.
Keledai jatuh ke lubang cukup dua kali. Situ berkali-kali. Kurang waras merawat pikir, atau memang playing victim menikmati perihnya menyakiti diri sendiri?