Terkadang orang ditanya entah dalam wawancara atau celetukan obrolan iseng, "seperti apa pencapaian hidup yang SUDAH diraih?". Meski kesannya sederhana, tapi jawabnya tetap nggak gampang. Sebab pertanyaan tersebut mengandung banyak makna. Pertama, soal pencapaian hidup atau life achievement dianggap punya ukuran yang sudah pasti. Semisal, kalo dah lulus sekolah ya harus lanjut kuliah. Kalo selesai kuliah ya lanjut cari kerja. Kalo sudah kerja ya kawin dan seterusnya beranak pinak memamah biak sampe mati. Apa iya begitu? Selain dianggap memiliki ukuran yang pasti, pencapaian hidup juga dilihat sebagai hal yang berlaku umum, sama dan sebangun untuk setiap orang. Secara konseptual sih iya, dimana setiap orang memang diharapkan punya pencapaian sebagai sebuah bentuk keberhasilan atau kemenangan. Akan tetapi secara substansial, tidak ada yang sama satu sama lain. Semua punya latar belakang hingga pengalaman yang berbeda-beda. Cerita hidup satau sama lain juga tidak serupa. Maka pencapaiannya sudah pasti punya bobot kuantitas dan kualitas masing-masing yang tidak dapat dibandingkan.
Oleh karena itu, banyak kesalahan logis yang terjadi ketika bicara hasil pencapaian hidup. Misalnya saja mengukur semata hanya dari kebendaan, materi atau segala sesuatu yang kasat mata. Orang dianggap sukses kalo sudah menempuh pendidikan setinggi-tingginya, punya karir bagus, gaji besar, pendapatan dari mana-mana, mampu berbisnis dengan menghasilkan banyak cuan, memiliki properti sana sini dan seterusnya. Kalo mau jujur, pendidikan tinggi juga tidak menjamin apakah isi kepalanya mampu untuk berpikir rasional hingga punya empati. Banyak orang berpendidikan tinggi cuma memperlakukan pengetahuannya hanya sekedar jadi receh. Istilahnya ya pelacur intelektual. Banyak yang punya karir bagus, tapi stress memikirkan tekanan pekerjaan yang begitu besar. Banyak yang punya duit berlimpah tapi kebingungan dan nggak tau harus berbuat apa. Banyak yang punya properti tapi tidak menghasilkan apapun. Ujungnya duit habis cuma buat perawatan.
Itu sama seperti asumsi bahwa orang harus meraih kesuksesan secara maksimal di usia tertentu. Contohnya ya anak muda di usia 25an yang berpikir harus punya tabungan sekian milyar, bergaji dua digit, harus sudah punya mobil, harus sudah punya pasangan yang siap bertukar kelamin secara sah dan seterusnya. Awalnya sih bagus sebagai motivasi. Akan tetapi ketika motivasi berubah menjadi ilusi gegara tidak mampu berpikir dan bertindak realistis, maka impian itu pun dengan segera menjadi beban tersendiri. harus bisa begini begitu, tapi baik tenaga, waktu, daya dan upaya yang dimiliki tidak mendukung bahkan tidak punya rencana yang mengarah kesana. Akibatnya, ya cuma sekedar mimpi yang tidak pernah diwujudkan. Ini diperparah dengan kebiasaan untuk selalu mengukur keberhasilan dari pencapaian orang lain. Dia bisa, kenapa saya tidak?
“Stop setting goals. Goals are pure fantasy unless you have a specific plan to achieve them.” ~ Stephen Covey
Padahal seperti ditulis di awal, ya latar belakang, habitat dan ekosistem setiap orang berbeda dan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan hingga kemampuan. Maka model begini ketika masuk paruh baya menjadi pribadi yang sirik, nyinyir, pengen begini begitu tapi tetap saja nggak mampu. Beban hidup semakin berat dan bertambah, tapi rasa irinya tidak berkurang. Apalagi kalo terbiasa nggak mau kalah, merasa benar dan bisa. Padahal tanpa disadari bahwa dengan menetapkan target yang tidak realistis, ujungnya kebanting dalam hidup yang begitu-begitu aja. Dibilang susah ya ogah, dikatakan medioker maunya super, tapi disebut sukses juga nggak ada ceritanya.
Jadi urusan pencapaian hidup harus bisa dinikmati dengan cara masing-masing. Ada yang cukup senang dengan segenggam, ada juga yang berpuas dengan sekeranjang. Entah seberapa banyak, perasaan girang itulah yang kemudian dapat menjadi motivasi sesungguhnya untuk bisa menikmati hidup ketimbang hanya memaksa diri tanpa jelas ujung pangkalnya. Toh tidak ada yang sama. Ibaratnya, kalo jalan jangan cuma mendongak ke atas melihat bintang. Akan tetapi belajar juga melihat kebawah supaya nggak nginjek tokai di jalan. Enjoy the life. Mau jungkir balik kayak gimana, fokus pada diri masing-masing untuk menjalankan rencana dan jangan lupa bahagia.