Benarkah hingga saat ini warga Indonesia yang tinggal di perkotaan, terutama generasi milenial sulit untuk membeli dan memiliki rumah? Apakah mereka yang kini termasuk dalam rentang usia dua puluh lima hingga mendekati empat puluh itu masih memiliki banyak kendala untuk soal properti? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentunya harus didukung fakta dan data dari berbagai sisi. Jika dilihat dari Property Market Index Q1 2022, indeks harga properti di Indonesia saat ini cenderung stabil setelah tumbuh signifikan pada Q2 2021 sebesar 2,29 persen dan Q3 2021 sebesar 1,79 persen (quarter-to-quarter). Situasi ini disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan harga rumah tapak dan apartemen pada Q4 2021. Sementara itu, indeks suplai properti turun sebesar 2,15 persen secara per quarter. Hal yang menarik adalah pencarian properti untuk harga di atas 1 milyar meningkat sebanyak 52% sepanjang tahun 2021. Ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang didominasi oleh pencarian properti dengan harga di bawah 1 milyar. Beberapa kawasan juga makin banyak dicari khususnya yang memiliki infrastruktur baru. Wilayah Serpong-Depok yang telah dilintasi jalan tol baru mengalami peningkatan untuk harga propertinya. Setelah setahun lebih tertahan karena pandemi, kalangan pengembang menjadi lebih confident untuk meningkatkan patokan harga jual produknya maupun mengurangi berbagai promo kemudahan yang ditawarkan. Maka tidak mengherankan jika kenaikan harga properti di Depok seperti Pancoran Mas dan Sawangan adalah yang tertinggi di seputaran Jakarta. Optimis kayaknya ya?
Lantas bagaimana dengan soal harga dan pembiayaan? Beberapa riset menunjukkan bahwa harga rumah termurah semisal ukuran 36/75 adalah berkisar 300 jutaan. Itu pun masih sangat relatif tergantung lokasi, akses, bahan serta kualitas yang dimiliki. Jika ingin memilikinya melalui KPR, maka menurut kaidah konsumsi maka seseorang harus minimal memiliki penghasilan yang cukup besar. Pertama, untuk semisal rumah seharga 300 juta Rupiah tersebut dibayar dengan DP 30% atau 60 juta Rupiah. Artinya, orang tersebut harus punya 60 juta Rupiah dan sisanya 240 juta Rupiah dibayar oleh bank. Kedua, untuk KPR dengan tenor 15 tahun dan bunga 12%, maka kisaran angsuran per bulan adalah sekitar 2,88 juta Rupiah. Ketiga, dengan jumlah tersebut maka ketentuan angsuran sebasar 30% dari penghasilan. Dengan kata lain penghasilan minimal untuk bisa beli rumah senilai 300 jutaan adalah sebesar 9,6 juta per bulan. Jelas bukan UMP kan?
Hingga saat ini pemerintah masih berupaya untuk tetap menjaga agar rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) tidak membengkak, bahkan cenderung stabil. Pada bulan Januari 2021 NPL properti ada di level 2,86%, turun tipis dari tahun sebelumnya sebesar 2,88%. Bila dirinci, NPL kredit properti paling tinggi disumbang oleh kredit ruko/rukan sebesar 4,77%. Sementara untuk kredit pemilikan rumah (KPR) rumah tapak masih terjaga di level 2,63%. Itu sudah menurun dari periode setahun sebelumnya sebesar 2,75%. Tapi jangan girang dulu. Sebab setelah Sikopid reda, justru ancaman baru berupa badai ekonomi seperti inflasi akan mulai mengikuti. Itulah sebabnya menjaga urusan NPL merupakan fokus yang serius bagi pemerintah melalui penetapan suku bunga BI, ketimbang urusan sembako doang.
Jadi membeli dan memiliki rumah bagi keluarga muda, mereka yang baru mulai karir atau termasuk dalam cakupan generasi milenial itu sebenarnya memungkinkan, tapi berat banget. Menggabungkan penghasilan serta menambah alternatif penghasilan ketiga atau keempat seperti investasi atau bisnis bisa jadi alternatif terbaik. Orang jadi bisa mampu beli rumah, tapi apakah mau? Menariknya, ini juga tidak lepas dari bagaimana perilaku dan keputusan yang dibuat merupakan pengaruh dari generasi sebelumnya. Buat generasi Baby Boomers dan sebagian gen X yang kini paruh baya ke atas, dulu punya rumah idaman adalah dengan seluas tanah 300 bahkan 400 meter persegi. Alasannya romantis memang; pengen jadi tempat kumpul anak cucu, atau berkebun sekalian menikmati hari tua. Maka nggak heran jika orang kemudian berlomba membeli dan memiliki properti bukan lagi sekedar tempat tinggal tapi juga aset. Harga melambung tinggi setiap saat. Lantas apa yang terjadi? Ketika pensiun, rumah jadi bobrok karena tak bisa dirawat. Rumah tingkat dan halaman luas tak terawat. Tak ada tenaga dan biaya yang tersedia. Anak cucu juga sudah tercerai berai tinggal masing-masing, atau sebaliknya berhimpitan di rumah yang semakin penuh. Entah jadi pondok mertua indah atau bakal warisan. Padahal hibah atau waris pun ada pajaknya juga. Tapi gegara nggak ada duit, ya makin rapuh dan berasa sempit. Dijual mungkin bisa mahal, tapi siapa yang mau beli? Jadi jangan kaget lihat rumah gede kelihatan mewah bertingkat-tingkat, tapi penghuninya bisa banyak beberapa keluarga, atau sebaliknya sepi dan hening.
Fenomena semacam itu mempengaruhi pemikiran generasi berikutnya; lebih baik punya atau sewa apartemen ketimbang beli rumah. Nggak bikin ribet. Meski cuma HGB, tapi kalo nanti mati juga nggak ninggalin masalah. Kalo pun beli rumah, bagusan juga minimalis nggak banyak pernak pernik. Itu sama seperti ngapain juga beli alat transportasi yang nilainya menyusut. Lebih baik sewa kan? Jadi kalo punya duit, mending buat jalan-jalan. Belum lagi memiliki properti ternyata bukan urusan sekedar mampu beli. Biaya rutin harus tetap dikeluarkan seperti bayar pajak, listrik, air, gas, dan internet. Belum biaya ekstra semisal pasang kanopi, gali sumur, pasang pompa, pasang tandon air, anti rayap, renovasi berkala, ngecat ulang, coating atap, bikin dak, beli peralatan ini itu, dan segambreng tugas yang kerap dipandang sebagai urusan kebapakan. Estimasi ongkos yang dikeluarkan akhirnya tidak cukup dengan "biaya tak terduga" saat mau akad beli rumah saja, tapi juga begitu mulai menempati.
“Owning a home is a keystone of wealth… both financial affluence and emotional security.”~ Suze Orman, financial advisor
Maka urusan punya rumah adalah sesuatu yang bagai buah simalakama; nggak punya juga berat jika sampai usia uzur masih ngontrak, ngekos, atau berebut sama sodara soal warisan. Punya rumah juga berat pula soal pembiayaan hingga perawatan. Semakin sedikit orang yang kebanyakan duit dan kemudian menjadikan properti sebagai investasi tanpa diperjualbelikan dalam waktu singkat. Biayanya semakin mahal. Tapi semakin banyak orang yang kemudian belum punya kesempatan untuk bisa memiliki rumah bahkan yang sederhana sekalipun. Jadi ketika generasi terkini atau bahkan kelak nanti seperti Z, Alpha atau iGen dihadapkan pada pilihan serupa, bisa jadi keputusan mereka akan berbeda lagi dibandingkan generasi sebelumnya. Yang jelas, bumi makin padat dan harga naik Senin besok. Nah.