Dalam beberapa waktu ini, ada opini yang beredar di podcast, twitter dan media sosial di Indonesia mengenai pengelolaan keuangan. Opini tersebut menjadi fenomenal sekaligus kontroversial karena menyebut bahwa seharusnya seseorang ketika berusia 25 tahun harus sudah pegang duit seratus juta. Atau ketika berumur 30 tahun sudah punya satu milyar Rupiah. Itu pun masih ditambah celetukan; makanya, jangan kebanyakan nongkrong di Setarbak aja. Gitu katanya.
Apakah opini semacam itu keliru? Sepintas sih tidak. Bisa jadi maksudnya agar seseorang ketika di usia muda, mau mengerahkan segala daya upaya untuk bisa punya duit yang bisa tergolong dihitung sebagai kaya. Siapa yang nggak kepengen kalo masih muda bisa dibilang tajir melintir kan? Selain itu, opini tersebut bisa saja ditafsirkan sebagai penggugah semangat supaya saat masih under thirty udah punya pemikiran menjadi segiat mungkin. Jangan sampai pas masuk usia 40an masih nggleprak di kosan, tidur pake kasur kapuk, puyeng mikirin makan, bingung soal jajan, apalagi bayar tagihan tunggakan dan cicilan. Tapi sejalan dengan usia, gaya pun masih harus selangit. Nah ini yang repot ketika penampilan tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Pusing kan?
Akan tetapi opini tersebut juga punya banyak kekurangan. Pertama dan pasti, tidak ada standar baku yang bisa menetapkan penghasilan seseorang hanya berdasar umur. Kalo itu dilakukan, tentunya semua orang semakin tua sudah semakin sugih. Itu sih idealnya demikian. Akan tetapi banyak faktor yang membuat mengapa seseorang tidak bisa punya ukuran keberhasilan atau kesuksesan yang sama. Ada pengaruh keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pergaulan, karakter, sifat, reputasi, akses, modal dan sebagainya. Terlebih output dari sebuah kesuksesan juga bukan melulu soal duit. Semua faktor tersebut tidak merata satu sama lain sehingga hasil yang diharapkan juga tidak dapat dibandingkan begitu saja.
Kedua, standarisasi keberhasilan dalam ukuran nominal duit juga bersifat semu. Bilai uang selalu fluktuatif dan ada faktor depresiasi pula. Satu milyar tahun lalu juga bakal beda nilainya dalam beberapa tahun mendatang. Selain itu, jika seseorang bisa pegang duit segitu, apa iya kemudian bisa disimpan atau malah dihabiskan? Gimana kalo numpang lewat doang? Nah kalo kagak mampir-mampir, kan pusing. Toh jika pake ukuran perbankan, orang disebut nasabah tajir itu bukan semata punya duit banyak di rekening, tapi apakah duitnya itu mengendap dan pastinya juga apakah ada aset yang lain. Belum lagi soal spending. Sekarang kalo punya gaji duapuluh juta, jika pengeluaran per bulan hampir dua puluh lima juta ya sudah pasti disebut miskin. Demikian pula punya gaji lima juta tapi kalo pengeluaran per bulan bisa ditekan hanya tiga juta, masih bisa disebut sugih. Jadi lagi-lagi kuncinya bukan seberapa banyak yang bisa didapat tapi seberapa yang bisa digunakan dan jua disimpan.
Ketiga, dengan kemampuan untuk mengelola pengeluaran dan menyimpan maka nominal berapa pun menjadi bersifat relatif. Apalagi jika kebutuhan orang tiada habisnya. Gajian sepuluh juta udah mikir cicil motor, gajian dua puluh juta niat cicil mobil. Mau punya satu milyar, sudah pasti akan terbersit keinginan yang lebih ketimbang saat masih pegang duit sepuluh juta. Pada titik ini kemudian orang jadi berpikir, oh kalo gitu berhemat-hematlah supaya bisa tajir. Gimana bisa hemat ketika mata buka ponsel, itu segala iklan bermunculan dan menggelitik keinginan yang mengalahkan kebutuhan. Menabung? udah nggak jamannya. Potongan dan pajak jauh lebih besar daripada bunga. Justru yang harus dilakukan adalah investasi. Maka rame-ramelah pada maen trading, kripto, dan berujung loss. Tapi jangan keliru juga jangan kata investasi. Ngopi-ngopi di Setarbak dalam arti tertentu juga dibilang investasi kok, tergantung ngopinya bareng siapa. Kalo bayarin klien, itu jelas investasi. Tapi kalo cuma mau buat pamer di medsos doang, ya mending lu beli kopi sasetan. Nggak guna kan? Pada titik itu, jelas pengeluaran yang dilakukan bukan saja sekedar konsumsi tetapi juga ada return of investment yang diharapkan. Itulah sebabnya kafe menjadi rame bukan saja yang orang nongkrong buat selfie, tapi juga marketing lagi presentasi, konsultan lagi negosiasi, hingga sales lagi pedekate dengan calon konsumen.
Keempat, kekayaan dunia bukan godaan tapi justru tantangan. Mengidamkan dan meraihnya dalam usia muda tanpa punya latar belakang, pengalaman dan lingkungan yang jelas bakal menjadikan kekayaan nggak lebih sekedar mainan. Lihat saja para orang kaya baru atau crazy rich yang sugih gegara judi digital. Menjadi kaya adalah penebusan dendam terhadap kondisi miskin melarat sebelumnya. Maka pamer adalah hal yang biasa. Buat apa? Nggak penting juga. Beda dengan yang kaya beneran. rerata sudah tua dan berpengalaman. Tanpa pamer di media sosial dan tanpa butuh pengakuan sosial, orang lain juga sudah tau siapa dia. Sebab mereka juga nggak mau menimbulkan keriuhan, yang kemudian mengundang banyak pihak termasuk ditjen pajak untuk titip salam kan?
Jadi opini yang menyatakan bahwa orang harus tajir dalam usia tertentu, tidak lebih hanya sekedar dorongan ideal yang kerap berlawanan dengan kondisi faktual. Nggak semudah itu. Kalo gampang, situ sudah pasti sudah ketawa lebar membayangkan bagaimana meraih kekayaan dunia semudah membalik telapak tangan. Ini tangan orang lain. Maka menjadi kaya itu relatif, tapi males itu absolut. Mau punya duit tapi nggak usaha. Biar rebahan ya nambang bitcoin kek, ngepet kek. Kan sama aja nggak keluar kamar. Tinggal jadi omongan tetangga."kok masnya di rumah aja tapi bisa beli brio ya?" Tunggu sampe babinya lepas.