Perkembangan teknologi pada masa sekarang terasa semakin cepat. Itu bukan saja dari soal pertumbuhan; sebab apa yang ada di market saat ini, sudah termasuk usang buat ukuran laboratorium riset. Ketika sudah masuk pasar, maka perkembangan tersebut juga berdampak kepada kepemilikan. Terlebih ada faktor marketing disitu. Orang selalu terpancing untuk mencoba dan membeli yang terbaru. Ceritanya yang begini masuk kepada trend setter, avangarde dan kelompok konsumen yang selalu berinisiatif untuk mencoba hal baru. Ada kelompok lain yang tergolong mainstream dan cenderung cuma ikut-ikutan aja, dan ada juga yang selalu berada di belakang. Mereka yang terakhir ini lebih pemilih dan kalo bisa nggak berganti mengikuti teknologi selama ekosistemnya masih ada. Baru terpaksa beli jika benar-benar sudah obsolete dan tidak bisa digunakan.
Akan tetapi tanpa disadari bahwa perkembangan teknologi tersebut kini bertambah cepat dibandingkan dekade sebelumnya. Contoh pada abad lalu, saat pertama dibuat bohlam tentunya dengan harapan dapat digunakan selama mungkin. Istilahnya life time guarantee. Tapi ada dasar kesepakatan beberapa produsen, maka usia bohlam diperpendek. Alasannya agar ada inovasi baru yang bisa dikembangkan. jadi tidak heran jika istilah life time hanya berlaku pada benda-benda konsumsi yang collectibles seperti celana jins atau korek api. Nggak berlaku pada benda teknologi. Terlebih di abad ini, perkembangan semakin menggila. Contoh saja, ponsel flagship yang dulunya setahun sekali, kini bisa dalam lima bulan sudah keluar seri terbaru. Maka orang yang sudah terlanjur beli karena berpikir ada the latest technology yang bisa dipegang, bisa-bisa gigit jari. Kecuali emang niatnya mau jadi kolektor kali.
Alhasil, semua produsen berlomba-lomba mengeluarkan produk dengan gimmick yang selalu mengacu kepada inovasi terbaru. Di satu sisi, ini sebenarnya bagus. Ada banyak kompetisi mulai dari teknologi itu sendiri, penjualan, harga dan juga mendapatkan konsumen yang loyal. Semua berlomba untuk memberikan yang terbaik. Di sisi lain, ada juga kebingungan karena begitu banyak pilihan sehingga harus mengundang kehati-hatian dalam memilih. Selain itu ada daya beli masyarakat yang tidak saja hitung dari kemampuan tetapi juga jangkauan terhadap produk. Contohnya adalah pada beberapa waktu lalu harga graphic processing unit atau dikenal dengan sebutan VGA card melonjak hingga berkali lipat lantaran diborong oleh penambang kripto. Padahal kebutuhan GPU awalnya tersedia untuk perakit dan pengguna PC biasa, gamers dan juga graphic designers.
Maka dapat dilihat bahwa apa yang terjadi di dalam pasar teknologi memiliki dampak luas bukan saja di dalam ekosistem pengguna, tetapi juga merambah kepada hal di luarnya. Kerja pengguna PC biasa hingga disain grafis mau tidak mau harus mensiasati kesulitan eksternal semacam itu dan bukan tidak mungkin harus menyesuaikan diri semisal program dan aplikasi yang dibutuhkan ternyata harus didukung perkembangan teknologi GPU yang ada. Konsekuensi lain, market GPU juga menjadi sempat kacau. Model lama masih dicari dan dibutuhkan, barang second juga nggak masalah. Itu persis seperti jaman wartel dan warnet, dimana printer Epson LX800 yang brisik itu masih tetap dihargai mahal untuk kepentingan billing meski sudah lama tidak diproduksi. Sekarang begitu tambang kripto yang menggunakan GPU sudah punya alternatif alat lain seperti STB televisi, diregulasi dan dipajaki pemerintah, maka harga GPU juga mulai berguguran.
Jadi fenomena semacam itu mau tidak mau harus dipantau. Begitulah kalo mau menjadi konsumen ang cerdas. Sebab teknologi bukan hanya dimiliki tapi juga harus dikuasai. Semisal punya ponsel cerdas beli mahal pake ngutang tapi cuma dipake buat chat doang? Terlaluh. Atau ngaku berprofesi sebagai orang yang terbiasa ngasih ceramah, materi pendidikan, khotbah paedagogis, tapi bikin PPT dan Excel aja masih primitif; template bawaan Mikrosop dan miskin visual. Parah. Atau bertahan dengan atas nama preservasi dan pendayagunaan teknologi, tapi sebenarnya nggak mampu beli? Gila aja.
“It’s not that we use technology, we live technology.” ~ Godfrey Reggio
Itulah sebabnya mengikuti teknologi bukanlah sekedar bisa beli atau bisa pake. Tapi dengan situasi terkini orang memang dipaksa baik secara marketing hingga ekosistem. Sinyal 3G dah dihapus, orang masih pake 4G dan beralih ke 5G. Wifi5 sudah berkembang ke 6, 6E dan kelak 7. Windows sudah 10 dan 11, bentar lagi 12. Berpengaruh? Cepat atau lambat iyalah, tergantung kebutuhan dan kantong. Apalagi jika ekosistemnya sengaja tidak lagi dibuat untuk mendukung. Maka teknologi hanya bisa dikejar dengan berbagai prasyarat semacam itu. Ada bagusnya untuk tidak didikte pasar, tapi lebih bagus lagi kalo mampu beli ya memanfaatkannya secara maksimal. Bukan buat gagah-gagahan. Konyol ntar. Apalagi masih tetap aja gaptek. Login kudu diajarin bocah. Gimana disuruh ngajarin coding. Capeklah.