Manusia itu selalu punya dua sisi, yang sebenarnya adalah satu. Di satu sisi bisa tampil sebagai orang yang sangat baik, ramah, pemurah dan bisa saja di sisi lain mendadak jahap pake pe, kusam dan pemarah. Semua tergantung dari kondisi dan situasi macam apa yang ia hadapi. Entah terkait dengan kepentingannya, lingkungan di mana dia berada atau orang-orang yang berada di sekitarnya. Cuma satu sisi saja? Entah polos atau memang bebal, sangat jarang yang demikian.
Dengan kedua sisi itu, sebenarnya tidak ada bedanya. Seseorang bisa mendadak manis menjilat karena berada di tengah orang-orang yang jauh lebih punya power. Sebaliknya bisa menjadi kejam kecut karena merasa unggul dari yang lain. bayangkan jika hanya pasang satu muka. Maka entah polos atau bebal, itulah yang sesungguhnya terjadi. Akan tetapi ini bukan berarti orang selalu menjadi hipokrit atau palsu. Dengan kedua sisi tersebut, sebenarnya ia menunjukkan karakter asli. Bayangkan jika ia menolak, menyangkal, atau melawan sebuah pernyataan tentang dirinya tapi oleh karena terlalu sering atau terlalu banyak menyangkal maka secara tidak langsung ia mengafirmasi atau menerima situasi itu.
Memiliki relasi harmonis, sukses dan kaya adalah impian berupa kondisi superfisial yang harus dipertahankan dengan menolak habis-habisan apapun yang berlawanan. Padahal rumah tangga retak, gagal dan miskin itu biasa terjadi di mana saja.
Ada orang yang mati-matian mencitrakan diri sebagai penyayang, anti kekekerasan, atau punya kehidupan yang harmonis. Negasi atau menolak segala hal yang berkaitan dengan ketiadaan cinta di dalam hidupnya jadi prioritas. Oleh karena bertubi-tubi, maka wajar jika dipertanyakan ada apakah sebenarnya? Bisa jadi yang bersangkutan justru miskin kasih sayang, atau malah sekedar mereplika imaji tentang cinta. Aslinya jelas jadi sangat kompetitif bahkan egois. Sama halnya dengan yang memperlihatkan diri serba pintar, bisa apa saja, tidak takut tantangan, atau malah selalu bisa tegar dengan masalah. Apakah benar demikian? Bisa jadi yang bersangkutan sudah merasa lelah, patah tapi tetap harus tampil prima demi diri dan keluarga. Intinya, banyak hal yang terlihat bagus di permukaan adalah refleksi dari apa yang buruk dan ditutupi. Maka negasi yang bertubi-tubi adalah selalu afirmasi terselubung. Apa yang ditolak secara gila-gilaan, sebenarnya adalah kondisi nyata yang menghantui dan bahkan dimakan sehari-hari.
Mengapa bisa begitu? Sebab umumnya orang tidak mau terlihat biasa-biasa saja. Bahkan ketika buat orang lain adalah sesuatu yang biasa, baginya hal itu harus bisa dilampaui. Kompetitif memang, tapi tiada guna. Maka ketika menunjukkan sesuatu yang biasa menjadi harus luar biasa, ia butuh pembanding yang bisa merendahkan. Buat orang lain kehangatan keluarga adalah hal yang biasa. Semua punya kurang dan lebih. Tapi buat mereka yang cemas, kehangatan itu harus tampil luar biasa bahkan tanpa sadar tidak biasa. Harus bisa terus-terusan posting relasi yang harmoni di media sosial, namun ada pula yang ditutupi. Harus bisa kelihatan sukses dalam hidup, namun cemas juga kala kesulitan mendatangi.
Pada fase ini, afirmasi yang bertubi-tubi adalah sama yakni negasi yang terselubung juga. Perfeksionis? Itu pasti, tapi sayangnya hanya pada level sekedar menerima atau menolak. Mengafirmasi atau menegasi. Bukan pada tingkat tindakan yang memang segala jatuh bangun, gagal atau sukses, harmonis atau berantakan, semua akan terlihat. jadi tidak mengherankan jika orang yang berfokus kepada citra akan sibuk untuk membentuk dan mempertahankannya. Bukankah itu melelahkan? Setidaknya, masih tidak terlalu lelah ketimbang harus bekerja secara serius memperbaiki apa yang bolong-bolong di dalam hidup.
Imaji menjadi hal yang teramat penting penting untuk orang yang hidup secara superfisial semacam itu. Menerima atau menolak mati-matian adalah cermin yang jelas terlihat agar ukuran-ukuran serba tinggai dan eksklusif bisa diterima oleh publik. Cinta, kesuksesan, bahkan kekayaan adalah topik yang harus bisa dikuasai dan tampil menyenangkan. Maka benci, gagal dan miskin harus ditolak habis-habisan. Haruskah gitu? Bermain di tataran superfisial tiada habisnya? Ah, tapi itu biar orang kemudian gumun; wuih betapa hebatnya sampeyan. Padahal zonk juga kan.