Ketika berargumentasi dengan orang yang lebih tua, penuh dengan kemarahan dan masing-masing nggak mau dengerin, konon generasi sekarang akan menggunakan istilah "OK Boomer" sebagai bentuk peyoratif untuk generasi di atasnya. Tepatkah? Salah alamat ternyata. Sebab di dalam konteks kerja, Baby Boomers Generation yang lahir tahun 1946-1964 notabene sudah berusia antara 58 hingga 76 tahun. Artinya sudah bukan usia produktif lagi. Pengsiunan yang sudah mulai anteng anyep menikmati hidup seaindainya membawa sukses di usia muda. Dalam konteks relasi sosial pun sudah menjadi kakek nenek yang kebawelan alamiahnya tentu bisa dimaklumi, bukan soal krusial yang menyangkut hubungan langsung. Malah bukankah kakek nenek lebih menunjukkan rasa sayang kepada cucu?
Jadi konflik antar generasi itu lebih tepat adalah benturan dengan generasi orang tua yang teapt berada di atas milenial sekarang, yakni Generasi X yang lahir antara tahun 1965 hingga 1979. Di dalam konteks kerja, usia mereka yang berada di rentang 43 hingga 57 tahun itu idealnya sudah banyak yang menikmati pencapaian hidup seperti berada di top level management, decision makers hingga punya power yang cukup berpengaruh di lingkungan terkecil hingga level negara. Istilahnya udah berduit, berpangkat dan berjabatan pula. Pastinya ya nggak semua. Ada juga yang bapuk ciut bahkan korosif nggak menghasilkan apa-apa. Eniwei, dengan rerata posisi semacam itu tentu saja banyak irisan dan juga gesekan dengan generasi milenial yang saat ini sedang berjuang menapak karir, berada dibawah perintah dan kerap bersikap ambigu dalam menentukan pilihan. Di satu sisi para milenial ini merasa sudah siap untuk ambil alih, berkompetisi bahkan mau menyamakan pencapaian para senior-seniornya, tapi di sisi lain masih kebingungan melihat kesempatan kerja, peluang bahkan besaran gaji kanan kiri. Belum lagi dengan adanya pandemi kemaren, situasi seakan reset mulai dari nol. Generasi X merasa belum cukup waktu bahkan harus mengulang pencapaian yang merosot, sementara antrian generasi milenial semakin panjang. Terlebih mereka yang hingga saat ini karirnya muter mandeg buat bulanan doang. Nah lho, bakal lama keknya kan?
Di dalam konteks relasi sosial seperti keluarga, Generasi X sudah matang bahkan sebagian sudah beranak cucu seperti Generasi Z. Alhasil, Milenial itu bak posisi kejepit yang tidak menyenangkan. Mengapa? Pertama, generasi Z itu lahir dalam kondisi cukup keras. Kalo boleh dibilang meski latar ekonominya mencukupi tapi didikan yang terima membuat mereka nggak bisa berleha-leha. Hidup serba sudah, kemana-mana naik angkot, hanya segelintir yang dulu bawa mobil sendiri. Sekarang, mereka rerata cukup senang dan sejahtera. Otomatis, mereka nggak mau keturunannya merasakan susah, jadi benar-benar secara sadar atau tidak malah memanjakan. Semisal belajar ditemani, ketinggalan PR atau bekal makan malah dianteri. Anak lulus ujian masuk perguruan tinggi, mereka yang lebih hepi. Dicariin kosan bahkan ditemani tidur juga. Ada? Banyak yang begitu. Itu kemewahan yang mereka tidak pernah dapat ketika muda, maka menjadi kompensasi buat anak-anaknya. Minimal ngajak jajan ngopi tiap pekan atau jalan-jalan keliling kota. Dulu kan nggak gitu soalnya.
Itulah sebabnya, banyak generasi muda yang 'salah didik' gegara orang tua dari generasi X ini. Alih-alih bisa mandiri dan punya kemampuan problem solving, malah jadi beban di kantor. Dikit-dikit kalo ada masalah jadi baper dan resign. Pulang ke rumah jadi solusi kepusingan soal kerja. Tapi mau sampai kapan? Itu baru soal kerja, blom lagi soal relasi sosial bahkan personal yang lebih intim. Masa' iye nganterin anak orang sehabis kencan cuma sampe ujung gang doang? Masa' mau mengekspresikan perasaan cuma modal ketikan chat? Tapi itu bukan salah para anak muda. Generasi X lah yang harus bertanggung jawab. Banyak di antara bapack-bapack dan emak-emak ini memang kesulitan atau tidak mampu menjadikan generasi yang dibawahnya lebih baik. Sikap protektif yang berlebihan lebih disebabkan rasa trauma dan inferior yang terselubung.
“Every generation laughs at the old fashions, but follows religiously the new.” ~Henry David Thoreau, Walden
Contohnya saja penggunaan media sosial. Sungguh keliru jika mengasumsikan generasi X ini gaptek total. Berbeda dengan Boomers yang sudah sangat berjarak dengan teknologi digital, umumnya Gen X terbiasa sejak kecil meski dalam bentuk proto. Main video game,hingga internet sudah biasa. Apa yang membedakan adalah soal dimensi ruang, di mana Gen X lebih nyaman berada di dalam habitat yang sama semisal grup temen kantor, temen hobi, alumni dan sejenisnya. Makanya Fesbuk dan WA jadi andalan. Kebiasaan becanda garing, jokes bapack-bapack, kata-kata-kata mutiara, resep sehat panjang umur, ghibah dengan forward segala berita dan hoax sudah pasti bikin rame. Banyak yang sotoy gegara baru kenal politik, padahal dulu semasa kuliah cuma pulang pergi dari dan ke kosan. Segala kerekatan dan konflik muncul dari situ.
Jadi apa yang masih dilakukan hingga saat ini, mencerminkan bagaimana generasi X tersebut hidup dan masih berjuang. Tidak semua sukses dan berhasil, itu wajar. Ada aja sampah yang nyangkut dan jadi beban keluarga. Akan tetapi apa yang ada itu juga membentuk bagaimana sikap mereka terhadap hidup itu sendiri dan juga generasi di bawahnya. Biar gimana mereka masih menerima sebagian warisan pemikiran generasi di atasnya seperti banyak anak banyak rejeki, anak adalah investasi, hingga kekayaan adalah kepemilikan dalam bentuk properti. Ini masih terbawa dan kemudian mewariskan pula gagasan bahwa keberhasilan adalah saat bermanja-manja mengandalkan keluarga, apa-apa harus tetap melibatkan orang tua dan kalo dah ngopi bareng rasanya harmonis. Inget ya, gagasan soal harmoni tanpa konflik itu Hobessian banget; persis kayak lukisan desa sawah gunung tahun 1980an. Itu generasi X banget. Konflik harus lenyap masuk kolong, bukan untuk diselesaikan. Nggak boleh ada yang beda. Nah, udah tau kan kenapa anak muda selalu ribut terus dengan yang tua? Warisan cuy. Maapin ye.