Membahas perkara perilaku seksual manusia itu sebenarnya enak mengasyikkan. Banyak hal yang bisa dieksplorasi sebagai pengetahuan atas dasar praktik hingga sekedar nguping dari yang lain. Mengapa? Sebab pada dasarnya perilaku seksual manusia tidak banyak berubah. Hanya ada beberapa momen dalam sejarah yang dianggap memberi pijakan baru dalam cara pandang manusia berikutnya. Selain itu motif utama manusia banyak pula didasari oleh argumentasi seksual. Harap dicatat, seksualitas bukan semata soal hubungan seks tapi ada juga dominasi, agresi, hingga penindasan. Meski batasan-batasan telah lama diterapkan seperti soal etis, norma, moral bahkan aturan agama, akan tetapi dalam kenyataannya itu tidak semudah membalik telapak tangan. Manusia pada dasarnya adalah binatang yang sama seperti binatang lain juga punya naluri seksual. Hanya saja, sebagai makhluk yang konon beradab maka pengaturan-pengaturan dilakukan untuk tidak membuatnya sama persis dengan yang lain. Apa iya begitu?
Misalnya saja manusia menentang incest atau relasi seksual sedarah, menolak praktik LGBTQ dan melihat pernikahan sebagai sebuah praktik budaya untuk mempertemukan kedua kelamin eh orang yang berbeda dengan tujuan yang juga tetap primitif yakni menghasilkan keturunan. Pada kenyataannya, masih ada tradisi beberapa suku di dunia yang melakukan relasi seksual sedarah. Hanya saja hal itu surut karena kerangka berpikir modern sudah jauh meluas dan melihat hal semacam itu jauh dari kepatutan. Homoseksualitas juga ada di dalam banyak spesies seperti kumbang, lumba-lumba, kambing dan bahkan orangutan. Jadi satu-satunya yang membedakan dengan hewan adalah ritual yang bersifat kompleks dan komunal. Binatang juga punya ritus, tapi sebatas dua ekor dan nggak melibatkan yang lain. Apalagi pake resepsi segala kan? Coba pikir, emang ada Wedding Organizer di hutan?
Demikian pula dalam kategori perilaku seksual, di mana manusia punya banyak definisi. Ada yang personal, ada yang kolektif, ada yang konsensual, ada pula yang transaksional. Relasi yang konsensual seperti Friend With Benefits atau FWB sebenarnya bukan hal yang baru. Istilahnya suka sama suka atau mau sama mau. Hanya saja subkategori yang membedakan lagi apakah hubungan semacam itu dilakukan hanya dengan satu mitra, ataukah dengan banyak orang berganti-ganti? Sebab semakin banyak pihak yang ikut didalam FWB, bukan tidak mungkin resikonya juga semakin besar baik dari sisi psikologis seperti pengelolaan emosional hingga sisi fisik seperti penyakit menular. Siapa bilang FWB nggak pake perasaan? Namanya juga hubungan fisik atas dasar pertemanan maka sudah pasti akan berpengaruh baik dari soal perasaan, tubuh bahkan kejiwaan.
Demikian pula dengan relasi yang bersifat transaksional alias jual beli sebagaimana di dalam prostitusi. Konon sebagai bentuk profesi tertua di dunia, prostitusi nggak akan hilang selagi hukum ekonomi berupa penawaran dan permintaan masih berlaku. Ketika masih ada lokalisasi, pemantauan dan pengawasan jauh lebih mudah; ada pendataan, kartu kontrol, cek kesehatan berkala, bahkan meminimalisasi resiko dengan kontrasepsi meski banyak pelanggan yang bandel ogah pake beralasan menganggu kenikmatan. Tapi gegara lokalisasi dan kondom dituduh mempromosi perzinahan ya ditutup. Alasannya sudah pasti moral, etika, agama dan segambreng lainnya. Hal yang dilupa adalah hukum ekonomi tetap berlaku. Ada permintaan, ada penawaran. Apalagi ini konon pekerjaan tertua di dunia. Jika dulu bisa didata dan dipantau, sekarang berjalan di balik karpet. Nggak ada lagi kontrol dan cek. Tau-tau si bapak bawa pulang oleh-oleh ke rumah. Nambah si ibu yang kena. Nurun ke anak. Gimana nggak pusing?
Hal yang menarik adalah di dalam perilaku seksual baik konsensual atau transaksional punya banyak kenyataan yang berbanding terbalik dengan pendapat umum. Misalnya hubungan seks konsensual selalu diandaikan hanya sekedar menarik keuntungan atau benefit secara fisik. Padahal emosi juga selalu mungkin bermain, sebab emosi tidak melulu didefinisikan sebagai cinta tetapi juga penasaran, penguasaan, kepemilikan bahkan penaklukan. Jadi biar gimana FWB itu nggak obyektif juga. Sama halnya dengan prostitusi yang konon orang mengira ramai pada saat malam Minggu. Berdasarkan riset, justru peak time lokalisasi adalah bukan malam Minggu, sebab itu waktu untuk keluarga. Lelaki yang tampak baik akan menghabiskan waktu bersama keluarga kan? Justru saat-saat paling ramai itu adalah Jumat siang, ketika orang lain pergi makan siang dan beribadah maka itulah waktu luang terpanjang di sela kerja dan saat pulang. Para pelanggan lokalisasi juga bukan tipikal lelaki wajah brutal, melainkan bisa juga muka unyu-unyu alim yang rutin menghabiskan gajinya disitu. Selain itu dalam konteks tertentu, perempuan juga bukan saja sebagai penyedia saja tetapi juga pelanggan. Bisa? Ya bisa dong masa' nggak bisa.
“If our sex life were determined by our first youthful experiments, most of the world would be doomed to celibacy. In no area of human experience are human beings more convinced that something better can be had only if they persevere.” ~Phyllis Dorothy James, The Children of Men
Perilaku seksual manusia mencapai momentum bersejarahnya adalah ketika (a) agama-agama Samawi mulai mengambil kendali dalam menentukan norma, moral dan etika sehingga banyak hal yang berkaitan dengan seksualitas ditabukan, serta kemudian (b) munculnya HIV/AIDS sebagai resiko penyakit dalam revolusi seksual tahun 1970an yang menolak kekakuan norma tersebut. Hingga saat ini, orang masih berdebat soal kepantasan perilaku, efek, resiko dan kemudian bagaimana solusinya di masa mendatang. Kedua momentum penjadi batas terluar pendulum perilaku manusia apakah tindakan yang dilakukan bisa sejalan dengan gagasan yang ada. Seks itu enak, nikmat asyik wal masyuk. Tapi memikirkan konsekuensinya juga butuh kedewasaan yang berbanding lurus dengan perilaku. Dengan kata lain, penyimpangan itu bukan lagi dalam perilaku tapi sejauh mana orang bisa menentukan pilihan-pilihannya. Kalo mau punya mitra ya harus tau betul kondisi kesehatan, perilaku dan kebiasaan sosialnya. Kalo mau esek-esek berbayar, ya harus ngerti betul konsekuensi hukum, moral dan aturan yang ada jangan sampe kemudian sok nyesel merasa bersalah dan lalu menyalahkan orang lain. Kalo kagak mampu bayar ya beli sabun kek, jepit pintu kek. Masa' minta ditraktir mulu. Kalo kagak bisa melakukan ya download JAV aja sonoh. Maksudnya Japan Anime Video. Masa' kalah sama Demon Slayer. Enak nggak? Enak dong, masa' nggak enak. Biar nggak ngemeng doang.