Istri saya sering dapet pertanyaan, “masih jadi Hindu?”. Kalo mau ditelisik lebih dalam, pertanyaan ini bukan soal keimanan, tapi lebih pada perspektif budaya. Kok bisa muncul pertanyaan seperti itu? Sebab perempuan Bali seringkali dikaitkan dengan asumsi ritual yang dianggap membebani, peran yang timpang lantaran banyak di antara mereka yang pekerja keras dan berbanding terbalik dengan lelaki Bali
yang dianggap lebih santai.
Tapi itu memang asumsi, yang seringkali muncul karena melihat, menafsirkan dan sedikit yang mengalami langsung. Apa yang muncul sebagai pengalaman pribadi, malah dijadikan kesimpulan yang menyamaratakan. Istilahnya generalisasi. Padahal tidak semua seperti itu. Pertama, migrasi era modern melahirkan bentuk persepsi kultur yang berbeda meski dari etnis yang sama. Misal, ada istilah Batak Tembak Langsung dari Tarutung dan orang Batak yang lahir gede di Jakarta. Ada Madura Swasta yang lahir gede di luar Madura dan berbeda dengan yang sejak lahir ada di Madura. Orang Bali pun juga demikian. Ada yang lahir gede tak pernah keluar Bali, ada Bali perantauan, dan ada juga orang Bali yang lahir gede di luar Bali dengan kemampuan bahasa dan kultur Bali yang kian menipis. Saking tipis dan ragu, bisa menjadi salah satu faktor pendorong pengubah gaya hidup dan juga keyakinan.
Kedua, asumsi yang muncul berkaitan dengan perempuan Bali di atas tentu juga tidak dapat disama ratakan meski melihat dari Bali sendiri. Bali yang mana? Di Denpasar atau Gianyar, tentu kultur yang tumbuh juga berbeda. Di Bali Selatan seperti itu , sudah lumrah misal perempuan Bali bangun pagi-pagi buta, menyiapkan puluhan banten jot atau saiban, kemudian ke pasar dan seterusnya. Di Buleleng konon beda. Tidak sampai seperti itu. Bahkan ngayab banten di padmasana atau rong tiga sudah dibilang sembahyang. Lebih sederhana. Tapi itu juga yang seringkali secara internal ada ketajaman friksi. Mbok saya di Denpasar pernah berseloroh, nggak mau dapet mantu orang Buleleng. Lah kenapa mbok? Katanya keras kepala dan susah diatur. Sebaliknya orang Buleleng yang saya kenal juga menganggap Bali Selatan terlalu ribet. Tidak sedemokratis di utara katanya.
Sebenarnya itu perbedaan yang lumrah, bahkan berakhir jadi becandaan. Situasi seperti itu belum tentu dipahami oleh orang Bali sendiri yang lahir gede di luar Bali. Asumsi bahwa lelaki Bali lebih santai kerimbang perempuan Bali juga dibentuk oleh perspektif kolonial yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Misal, Lelaki Bali dianggap cuma peduli dengan metajen atau sabung ayam, kegiatan seni dan
berleha-leha di bale bengong. Atau paling banter hanya sibuk ngurusin ritual. Perspektif semacam itu ditangkap sebagai potret kecil yang diluar aktivitas lain. Zaman dulu sebagaimana daerah lain, lelaki Bali sejak pagi buta sudah turun ke sawah, atau melaut saat menjelang malam. Apa yang dilihat kemudian
hanyalah kegiatan mereka di waktu senggang setelah bekerja. Mengisi waktu dengan seni dan ritual jelas tidak seketat seperti di Jawa, sebab orang Bali terikat dengan bentuk kolektif. Ada perkumpulan, ada sanggar, ada banyak kegiatan. Keterikatan seperti itu masih berjalan hingga kini, meski aktivitas utama
mencari uang tidak lagi seperti dulu. Buat mereka yang menggunakan perspektif kolonial, tak heran jika (1) lelaki Bali dianggap pemalas dan patriarki (2) bentuk kolektif dianggap memberatkan dan tak cocok dengan kehidupan modern.
Itulah sebabnya buat mereka yang besar di luar Bali, melihat orang Bali kadang dianggap memalukan. Sudah tidak sinkron dengan modernitas, malas pula. Atau timbul empati berlebihan bahwa perempuan Bali punya beban terlalu besar dan jadi tulang punggung keluarga. Dengan data partikular, maka ditarik kesimpulan besar dalam bentuk generalisasi. Solusinya ya paling cepat adalah mengenyahkan
identitas dengan berganti jubah sosial dan agama yang dianggap lebih ringan, efisien dan tidak memberatkan. Padahal, semua atribut semacam itu sebenarnya sama saja. Selagi masih berurusan dengan keterikatan sosial di negara ini, adat juga diganti dengan bentuk yang lebih modern dan tidak ada orang yang bisa lepas dari itu.
"Identity is not a fixed entity, but a dynamic process of becoming." ~ James Baldwin
Kini semua kembali kepada pengalaman diri masing-masing sebagai proses dinamis berkelanjutan di dalam kehidupan sosial. Lelaki Bali sebagaimana lelaki di daerah lain juga punya problem untuk bagaimana menyeimbangkan tugas mencari kerja di era dan kebutuhan modern, selain tetap melanjutkan bentuk kolektif yang menghidupkan jati diri sebagai orang Bali. Maka setiap pawintenan selalu diikuti oleh suami istri karena tidak ada sisi hidup yang timpang untuk bisa berperan dalam sebutan tentang keluarga. Perempuan Bali, di manapun berada juga serupa dalam hak dan kewajibannya yang di satu sisi meminta peran mereka dalam kerja profesional dan di sisi lain juga membantu menyiapkan lelaki mereka sebagai ujung tombak di depan. Seperti buibu dari Bali Timur yang saya kenal. Sibuk berdagang, sebentar lagi mau melahirkan, tapi semua dikerjakan sendiri. Orang bertanya, lho kemana paksu? Kok diam-diam aja? Ternyata paksu kerja di luar negeri. Sekarang dalam kondisi sakit keras, harus pulang dan ganti cari kerjaan lain. Yah, dinamika suami istri seperti itu akan selalu ada. Tapi dasar penduduk Konoha, semua cuma dilihat satu sisi cerita aja kan?
Polemik seperti ini tidak akan ada habisnya sebab yang kerap dilakukan adalah membandingkan, menganalisis dan menyimpulkan namun hanya menyertakan pengalaman pribadi. Ada banyak kisah yang berkaitan dengan kejutan budaya, modernitas dan hidup itu sendiri. Cara termudah memang adalah membalik atau meninggalkan mana yang dianggap lebih kompleks dan ketinggalan zaman. Padahal semua memang memang ada waktunya. Apa yang berubah hanyalah di sekitar kita. Semua dituntut untuk
bisa menyesuaikan. Sejauh mana orang bisa menjadi lebih maju, lebih modern, lebih canggih tanpa melupakan siapa dirinya dan bangga akan asal usulnya? Itu yang terpenting.