Banyak orang [mengira dirinya] pintar. Sebab kecerdasan selalu dianggap sebagai kunci utama untuk membuka, menganalisis dan menyelesaikan masalah. Tapi sebagai kunci, terkadang hanya mentok pada tahap menganalisis. Cuma di situ. Membuka sudah pasti bisa dengan omongan teori berdakik-dakik menghujam fakta. Menganalisis barang tentu menyisir dan memilah. Lantas kenapa berhenti sampai di situ saja? Tidakkah mampu untuk memberi solusi bahkan menemukan pola yang lebih luas?
Sebelum sampai jauh-jauh ke situ, perlu dipahami terlebih dahulu mengapa orang begitu gandrung untuk dirinya disebut cerdas. Sekolah bisa tinggi, buku banyak dibaca, ilmu bisa didapat. Tapi seperti kunci, hanya berakhir disitu. Cerdas seringkali berakhir menjadi malas. Enggan untuk kemudian mau melihat dan menerima bahwa ada banyak hal lain di luar dirinya yang bisa dipelajari. malas melihat dunia yang seolah sudah gampang dipahami dan dengan demikian bisa ditaklukan. Jijik melihat orang lain yang seolah tertinggal, primitif dan bebal. Kalo sudah demikian, maka dirinya menjadi lapar. Cuma bedanya adalah lapar perut. Bingung dengan situasi dan kemudian menyalahkan bahwa tidak ada yang dapat memahami jalan pikirnya. Geram dengan masyarakat yang seolah tak peduli, medioker tapi tidak ada yang dapat menerima dirinya. Rasa laparnya makin menjadi. Harus bayar tagihan, biaya dan juga urusan material lain. Suka atau tidak, ada tanggung jawab yang tetap harus dijalankan, apalagi kalo punya tanggungan.
Padahal dengan menjadi cerdas sudah pasti harus lapar. Hanya saja laparnya bukan soal perut saja. Ada pemenuhan terus menerus untuk bisa belajar meski dalam situasi berbeda. maka orang yang benar-benar memiliki intelegensia tinggi tidak pernah meremehkan apapun, entar sekitarnya, manusia atau dunia dimana ia berada. Dengan mengabaikan atau merendahkan, sebenarnya orang tersebut secara sadar membuat dirinya terasing dengan sendirinya. Nah, sampai di situ, tentu saja dengan segala daya yang dimiliki hanya mampu berhenti pada tahapan analisis. Boro-boro cari solusi atau menemukan pola, memikirkan lebih dari itu saja nggak mampu kok.
Jadi terlihat bahwa intelektual nanggung ya hanya berhenti disitu saja. Merasa bahwa hanya dengan berpikir, maka seolah sudah memahami dan kemudian ada proses timbal balik dimana mereka akan merasa cukup. Akan tetapi kenyataannya nggak begitu kan? tetap saja mengulang proses bodoh seperti Karl Marx yang mengritik kapitalisme tapi malam-malam jual lemari buat makan. Punya teman macem Engels anak pemiliki pabrik yang kemudian jadi tempat bergantung buat urusan perut. Di jaman begini, tentu saja mengandalkan semata pikiran kritis jelas juga tidak relevan. Mau berpikir kreatif juga tidak terbiasa. Hanya cuma buat survival doang. Apalagi menggabungkan keduanya dan memberi formula yang kemudian berguna buat orang banyak. Masih laper juga, ya wassalam.
“You make all the fashion statements just by dressing up your mind.”~ Jason Mraz
Jadi kecerdasan itu nggak akan punya makna banyak, jika kapasitas dan kualitas diri tidak mampu menerjemahkan kemampuan kognitif yang dimiliki untuk tetap berada di dalam hidup yang nyata. Tidak mengherankan jika orang yang menganggap diri cerdas, malah kesulitan untuk urusan-urusan mendasar termasuk soal makan. Semakin tidak bisa menerima situasi di sekitarnya, maka semakin ia tidak berkutik dalam soal keseharian. Pikiran boleh melantur mengembara kemana-mana, tapi siapa yang bisa menggunakannya dalam kebutuhan yang bersifat teknis dan praktis? Nggak ada. Orang lain dianggap bodoh, tapi diri sendiri masih berkutat dengan perut yang lapar. Maka jangan percaya kepada orang yang mengaku intelektual, tapi kusam dan kumal, selalu minta ditraktir pula.