Suka atau tidak, manusia selalu butuh pengakuan dari yang lain. Apapun caranya. Ada yang terang-terangan menjilat, pamer, atau masabodo. Ada juga yang malu-malu kucing pengen dilirik. Misalnya saja pernyataan tentang rendah hati. Sikap tersebut umumnya dipahami sebagai tindakan untuk tidak menonjolkan diri, biasa-biasa aja atau bahkan seolah tidak butuh pengakuan meski sebenarnya orang lain tau kalo yang bersangkutan bisa jadi pintar, cerdas, terkenal, sugih, tajir dan sebagainya. Tapi di jaman sekarang, ada banyak cara untuk bisa menonjolkan diri meski dengan label seadanya. Misalnya pasang foto lagi makan bubur ayam di dalam mobi Mercy dengan caption "cuma bisa sarapan bubur seadanya". Kan taik kucing juga itu. Emangnya lu secara nggak sadar promosi bubur atau mobil?
Jadi memang semua haus akan pujian, perhatian, kearaban yang dibangun lewat likes, comments, follow, subscribes dan pakem lain yang berlaku di dalam media sosial. Mau dengan cara kasar seperti beli jempol atau pengikut, hingga pamer dengan cara halus seperti contoh di atas. Lantas kenapa bisa begitu? Apa motifnya? Terlepas dari manusia adalah memang selalu butuh pengakuan, tentu saja ada bedanya dengan orang-orang yang cenderung nggak peduli atau bahkan nggak butuh pansos macam demikian. Pertama, media sosial adalah bentuk eskapisme yang paling ideal dari segala kepenatan, kebuntuan dan kegelisahan dalam hidup nyata. Bukankah jelas hidup itu nggak nyaman? Pening kepala mikirin orang lain, mikirin kantong, mikirin tagihan iuran cicilan tunggakan, belum lagi pening dengan urusan yang bisa jadi bukan urusan sendiri. Hidup yang cuma segitu-gitu doang butuh cermin yang bisa dibalik agar segala kesulitan itu bisa dilupakan sementara. Makanya orang betah menatap media sosial berlama-lama. Bikin status pantung petuah kata mutiara, upload foto halan-halan yang berulang dan dicicil supaya kesannya libur berlama-lama, unjuk kemesraan dan hidup harmonis, bahkan segala atribut material yang digunakan juga bisa ditampilkan sebagai bentuk kepemilikan. Jadi pelarian itu adalah hal yang biasa. Dibalik sosok gemerlap sudah pasti ada yang meringis kecut kan?
Kedua, selain jadi pelarian tentu saja media sosial adalah ajang untuk mencari pengakuan. Dalam kehidupan nyata sehari-hari tidak ada yang sempurna. Maka setiap ada momentum yang dapat merefleksikan sebuah kesempurnaan secara subyektif wajib untuk ditangkap dan diunggah. Bahagia bisa cuma sebentar. Beli nasi goreng, atau ngopi juga bisa bikin hepi meski kemudian orang bilang norak. Padahal itu wajar. Semakin norak atau kampring, maka kebahagiaan itu semakin nikmat. Sama halnya dengan eskpasime; semakin glamor semakin kere. Jadi pamer itu adalah kaca terbalik. Ia memberi pandangan superfisial yang berbanding terbalik dengan kenyataan. Maka akan sangat bodoh jika orang hanya terjebak kepada sebuah bayangan yang terlebih ia ciptakan sendiri. Ibarat kebohongan kalo dikit-dikit orang bisa curiga. tapi kalo semuanya bohong maka diri sendiri yang akan kehilangan kepercayaan kan? Ini bener atau nggak ya? Lama-lama jadi delusional.
“Sometimes glass glitters more than diamonds because it has more to prove.” ~ Terry Pratchett, The Truth
Maka delusi adalah musuh terbesar orang yang demen pamer tanpa batas. Ia tidak mamou lagi membedakan mana kenyataan, mana impian. Mana hidup yang emang beneran sumpek, mana yang terus ditutupi. Lama-lama menjadi lelah dan larut dalam kebohongannya sendiri. Merasa punya hidup yang sugih, tapi ternyata nadah tangan. Merasa punya keluarga harmonis, gak taunya tiap hari gebuk-gebukan. Merasa punya pikiran yang tercerahkan, ternyata modal copy paste doang. Jadi pamer juga jelas ada batasnya buat diri sendiri. Bisa menjadi korosif bahkan destruktif kalo apa yang dipamerkan sebagai sebuah bentuk refleksi terbalik dari hidup yang masam. Berhati-hatilah.