Binatang parasit itu sungguh mengerikan. Tidak pernah ada dalam ukuran besar, selalu kecil bahkan mini. Akan tetapi parasit hidup dengan menggerogoti inangnya tempat ia tinggal mendompleng. Binatang inang atau yang dihinggapi bisa memiliki konsekuensi baik kurang gizi hingga kematian. Sebab parasit tak kenal ampun untuk memanfaatkannya habis-habisan demi kelangsungan hidup sendiri. Memberi balik atau simbiosis mutualisme tidak ada di dalam kamus parasit. Hanya ada relasi-relasi taktis yang didekati jika menguntungkan, ditinggal kalau sudah tak bernilai atau si inang sudah mati.
Itu baru binatang pada umumnya, lantas bagaimana dengan binatang yang konon berakal budi macam manusia? Bisakah menjadi parasit atau inang seperti halnya binatang lain? Jelas bisa. Buat mereka yang menjadi parasit tidak melulu berniat kejam atau memanfaatkan, tetapi secara sosial memang sudah terkonstruksi untuk menikmati keuntungan, kemalangan, keberhasilan dan kegagalan dalam perspektif yang mereka bangun. Tidak terbiasa kerja keras, mau ikutan hasil cepat, mensiasati bagaimana bisa memperoleh sesuatu tanpa jerih payah, menikmati apapun kalo bisa gratis, senang diberi, dan selalu ikut jika mengendus ada bau hasil yang bisa didapat minimal tanpa berkeringat. Maka tidak aneh jika parasit sosial akan menerapkan standar rendah di dalam hidup. Kalo sudah biasa susah, ngapain gelisah? Menertawakan kegagalan, kepayahan atau bahkan membiarkan diri menjadi bulan-bulanan itu biasa. Toh tidak ada yang diseriusi karena serius butuh usaha dan keahlian. Gagal hanya akan menjadi melelahkan terlebih jika dipikirkan dan merupakan konsekuensi dari rencana jangka panjang. Jadi, biarkan hidup berlalu dari hari ke hari, selama masih bisa ditanggung oleh orang lain.
Kalo sudah biasa susah, ngapain gelisah? Menertawakan kegagalan, kepayahan atau bahkan membiarkan diri menjadi bulan-bulanan itu biasa. ~FRS
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sebenarnya parasit sosial semacam itu membutuhkan lebih banyak topeng untuk menutupi lapisan borok yang tidak ingin diketahui oleh lingkungan, komunitas atau publik. Seolah tidak ada effort atau usaha, tapi mati-matian pula memikirkan cara untuk bisa hidup dengan bergantung. Tapi akan memalukan jika tampak bahwa hidup yang seolah sederhana dan biasa itu ternyata sama saja dengan yang lain; punya komplikasi yang cukup ruwet mulai dari relasi personal hingga sosial. Jadi tidaklah mengherankan jika di satu sisi ada imaji untuk secara berlebihan menonjolkan hubungan sehingga tidak perlu dipertanyakan kembali, tapi di sisi lain gelisah karena seperti orang lain pun tetap saja akan ada masalah finansial, administrasi, pengelolaan, bahkan juga bagaimana bisa makan sehari-hari.
Parasit sosial mendendam soal kemiskinan. Nggak perlu jadi kaya-kaya amatlah tapi paling tidak bisa sejahtera mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan berkumpul, bersosialisasi secara semu atau masuk ke dalam lingkungan homogen tertentu, bisalah kecipratan sedikit. Jadi parasit sosial akan selalu berada di kerumunan, mengintai orang yang bisa dibonceng, ditebeng dan dimintai apapun juga. Sekere-kerenya sebuah komunitas atau habitat itu, akan tetap ada yang memberi. Parasit juga mendendam soal kesuksesan. Tapi berhubung statusnya hanya nebeng, maka sukses pun bersifat semu. Hanya bisa dilakukan di dalam lingkungan yang dimasuki. Sebab untuk tampil keluar, tidak ada yang bisa digantungi. Pemahaman soal kekayaan dan kesuksesan jadi nanggung karena pada dasarnya tidak bisa mandiri.
Maka yang paling sial adalah orang-orang yang sadar atau tidak menjadi inang, indung atau tempat bercokol untuk bisa mendapat sesuatu secara gratis. Mungkin karena sama-sama punya problem mental seperti kebiasaan karitatif, berderma, minder, belas kasih atau iba yang tidak pada tempatnya. Orang yang waras akan jauh menyingkir sebab parasitisme semacam itu akan menggerus perhatian, kesehatan jiwa, pikiran, dan kenyamanan. Urusan materi atau cuan mungkin dianggap tidak seberapa, tapi pola repetisi dan kebiasaan meminta itu menjadi rutin yang tanpa sadar dipenuhi.
Lantas apakah fenomena semacam itu wajar? Jelas wajar, namanya juga manusia. Meski ada embel-embel binatang sosial bernalar atau berakal budi tapi ya nggak gitu-gitu amat. Udah jarang pake akalnya, eh senang juga menggunakan perasaan semata dalam memutuskan. Nggak heran jika rasa kasihan jadi dominan. Pikirnya, selama tidak terlalu merugikan ya ditampung sajalah. Secara tidak sadar, ada pembiaran yang bersifat korosif terhadap relasi-relasi sosial yang dibentuk. Selain itu, bukan tidak mungkin si manusia inang yang digerogoti, sebenarnya adalah parasit juga di dalam struktur atau hirarki sosial yang lebih besar. Artinya parasit di atas parasit. Semua saling memanfaatkan satu sama lain. Begitu aja terus. Dasar manusia.