Siapa sih yang nggak jengkel dengan pemalas? tabiat semacam itu merugikan banyak orang baik dalam urusan personal hingga profesional. Mulai dari hal kecil-kecil seperti menunda janji atau pekerjaan, menganggap enteng jadwal sehingga tidak pernah tepat waktu, atau cuma berkutat soal mimpi tapi begitu ditodong bahkan dielus untuk bisa punya komitmen mewujudkannya kok sulit banget. Sampai kemudian kemalasan itu benjadi bertambah besar sehingga jangankan komitmen, untuk bisa konsisten antara pikiran, perkataan dan tindakan saja tidak pernah bisa. Jika cuma urusan personal tanpa melibatkan orang lain sih bodo amat, tapi jika menyangkut kerja profesional tentu saja jadi menyebalkan.
Masalahnya, memang tidak semudah itu juga untuk menyebut sebuah perilaku adalah identik dengan kemalasan. Ada yang menyebutnya hanya sekedar prioritas atau reaksi untuk menjadi selektif terhadap apa yang dihadapi. Bentuk permisif semacam itu bisa sangat banyak. Akan tetapi siapa sajakah pelakunya? Sebab banyak orang selalu berpikir bahwa mereka yang lebih malas adalah generasi yang berada dibawahnya. Dengan kata lain sebuah generasi cenderung menyamaratakan bahwa kemalasan adalah problem yang dialami oleh mereka yang lebih muda. Anak muda identik dengan kecerobohan, pikir pendek, nggak realistis, selalu terburu-buru, tidak menghitung resiko, hingga enggan bertindak jika nggak penting-penting amat, nggak disuruh atau nggak ada gunanya.
Stigma semacam itu sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Mulai dari Silent Generation yang melihat Baby Boomers adalah segerombolan hippies junkies, Baby Boomers melihat Gen X adalah pemberontak begajulan sulit diatur, gen X melihat genY sebagai milenial tua yang galau melulu, gen Y yang melihat gen Z sebagai milenial muda yang masabodo dan lebih seneng melototin ponselnya dan seterusnya. Maka dapat dikatakan bahwa kemalasan tak kenal batas generasi. Orang yang lebih tua akan cenderung punya pandangan negatif terhadap mereka yang lebih muda. Begitu anak muda menjadi tua, tetap akan selalu merasa lebih benar dan lebih baik ketimbang selanjutnya. terus aja gitu sampe lebaran kodok.
Apakah keliru atau salah? Nggak juga. Itu sudah hukum alam. Menjadi keliru jika mencap kemalasan kepada orang lain, tapi nggak ngaca kepada diri sendiri. Menuding diri lebih tahu tapi nggak punya sesuatu juga buat bener-bener dibanggain. Alhasil, hingga sampai tua tetap memelihara rasa malas dengan membuat dirinya seolah lebih ngerti dan lebih paham. Padahal tetap gelisah juga kan? Maka galaunya seseorang gegara rasa malas itu akan bersifat everlasting. Mulai dari usia 15 ketika sudah bisa ngaceng, sampe usia 65 saat sudah kehabisan duit. Selama setengah abad, life crisis akan terus terjadi dan semakin memberikan tekanan jika effort yang dilakukan tidak pernah diupayakan secara maksimal. Bisa-bisa malah cepet stroke dan jantungan ntar. Kok bisa gitu? Sebab menghilangkan malas itu nggak bisa sekejab, memeliharanya justru sekali jentik jari. Jika sedari awal cuma manggut-manggut berlagak bijak sambil cari gratisan ya wajar saja mentalitas itu dipelihara sampe tua. Ketika orang lain sedang berusaha mati-matian, paling cuma bisa ngeledek. Ketika orang lain mendapat hasilnya, balik nyinyir. Ketika orang lain sukses, malah jadi sakit hati.
“We often miss opportunity because it's dressed in overalls and looks like work” ~Thomas A. Edison
Itu sama ketika anak muda sekarang yang sedang berusaha, mendapat hasil dan sukses eh malah banyak orang yang lebih tua rusuh pikiran. Di satu sisi usia sudah tidak muda dan ekspektasi harapan sukses paling banter dalam hitungan beberapa tahun. Di sisi lain, mereka yang lebih segar terus mendorong kesempatan yang sudah sempit itu menjadi semakin pengap. Malas tidaklah identik dengan kegagalan, sama halnya rajin juga belum tentu sukses. Akan tapi menghilangkan kemalasan adalah upaya untuk memperlebar pintu kesempatan itu agar tetap terbuka secara maksimal. masa iye cuma duduk ngopi ngeluh sambil ngelihatin yang lebih muda keringetan? Malu dong.