Zaman dulu, sekolah dibutuhkan karena pendidikan jadi syarat untuk pintar. Orang pintar berijazah masih sedikit. Dengan pendidikan formal, mereka mengisi banyak fungsi di masyarakat. Tidak melulu jadi pegawai, tapi ahli di bidang masing-masing.
Sayangnya konsep semecam itu sudah jadul, Sisa dari abad ke-20. Pendidikan formal kini sebagai prasyarat untuk jenjang yang lebih tinggi, dengan asumsi taraf hidup juga semakin baik. Maka setelah sekolah menengah berbondong-bondonglah orang menjadi sarjana. Entah apa yang dicari. Saat kuliah, feodalisme malah diperkenalkan dalam bentuk tradisi dan senioritas. Bukankah pendidikan itu membebaskan? Nggak juga ternyata. Monopoli ilmu pengetahuan juga terjadi. Maka mereka yang mudah
masuk, jasi sulit untuk lulus. Padahal proses masuk itulah yang diperketat berdasarkan kualitas penerimaan, dan keluar bisa dengan mudah entah drop out atau lulus berijasah.
"Titles may adorn a scholar, but only wisdom defines their worth. Beware of those who chase prestige, for they often leave integrity behind." ~FRS
Maka saat ini jumlah sarjana di Indonesia membludak tapi nggak guna. Hingga 2023, jumlah sarjana strata satu 12.081.571 orang, strata dua 855.757 orang dan strata tiga 61.271 orang. Dari sisi kuantitas sebenarnya belumlah imbang rasio dengan jumlah total penduduk dewasa Indonesia usia produktif sekitar 190 juta jiwa. Tapi dari sisi kualitas, pendidikan sarjana hanya jadi alat perbaikan status sosial. Entah naik pangkat, golongan atau gaji, bisa masuk pegawai negeri, atau minimal gelar dipake buat ngundang kawinan. Ada hubungannya sama pengetahuan? Kagak. Lulusan sarjana mana yang siap kerja? Kalo pun ada selevel diploma, sekarangpun pajang gelar ahli madya yang sebenarnya kecara ketentuan tidak ada sama sekali. Kalo pun dipaksakan semisal diploma kini jadi sarjana terapan macem di tentara dan polisi. Tambah lagi persoalan gila gelar hingga honoris causa, profesorat dan tetek bengek lain.
Dari sisi kualitas itulah yang sebenarnya dapat di-challenge balik; punya kontribusi apa? Pernah bikin apa? Macem doktoral yang sudah puluhan ribu itu, apakah menghasilkan teori baru? Narasi dan gaya berpikir yang lebih modern? Nggak juga. Maka para tittle hunters itu adalah orang-orang mabuk yang gila hormat. Berasa pencapaiannya berhenti total jika sudahpegang gelar tertinggi. Ini bukan pangkat jendral yang sudah di sini senang di sana senang. Menjadi doktor justru adalah awal mula tentang bagaimana seseorang harus punya kontribusi di masyarakat. Menjadi sarjana strata satu sekalipun, berarti mampu menggunakan ilmunya secara maksimal, bukan kemudian dilatih ulang di industri gegara soft skills nggak
punya, relasi nggak ada dan cuma ngabisin duit beli amplop coklat lamar sana sini.
Sementara itu kerja sektor non formal seperti petani pun kian sepi ditinggal. Semua mau jadi boss, kerja di belakang meja, rapih kinclong wangi, menghadapi komputer dan kertas, pake lanyard segede bagong, sebelum jam makan siang udah cabut ke kafetaria atau mall, lewat jam satu siang masih hahahihi, balik kantor jam dua udah tinggal ngobrol siap-siap pulang. Nggak pernah punya komitmen selain sikap
oportunistik tikung samping tikam depan. Berpendidikan? Sekolah? Pegang ijasah doang.