Setiap orang baik lelaki atau perempuan, pasti punya libido atau gairah seksual sebagai hasrat kelamin. Itu hal yang wajar sebagai makhluk hidup. Kategori mamalia pula. Akan tetapi yang membedakan manusia dengan binatang dalam konteks ini adalah soal kemampuan untuk mengatur atau mengelola. Kemampuan manajerial semacam itu punya banyak dasar pertimbangan, faktor dan juga keputusan. Entah karena alasan moral, norma, hingga alasan lain yang lebih teknis seperti fungsi, ruang, waktu hingga prioritas.
Akan tetapi di dalam posisinya sebagai makhluk hidup sekaligus makhluk sosial, hasrat seksual selalu ditempatkan dalam beragam ukuran relasi mulai dari yang bersifat konsensual hingga transaksional. Konsensual juga macam-macam, mulai dari yang mengikat ketat seperti lembaga perkawinan yang disebut nikah, ada juga pacaran, atau bahkan juga hubungan satu malam. Intinya ya suka sama suka. Selain konsensual, ada transaksional alias berbayar meski pada prakteknya dikecam lantaran dianggap merendahkan hasrat seksual hanya pada soal kemampuan duit dan bukan kemampuan kelamin.
Selain itu, tidak semua orang mampu mengendalikan hasrat seksualnya dengan baik. Latar penyebabnya juga beragam. Pertama, ada kecanggungan relasi yang sedari awal menyebabkan sulit untuk bisa berhadapan dengan lawan jenis. Ketidakmampuan ekspresi emosional beralih kepada fisik. Segitu aja udah ngaceng, kan susah. Kedua, ada kebiasaan klaim bahwa dirinya menarik, keren, populer sehingga setiap lawan jenis dipastikan akan suka. Padahal klaim semacam ini lahir karena ketidakmampuan ekspresi sekaligus rendah diri. Bisa jadi didikan saat kecil sedemikian keras sehingga urusan lawan jenis jadi perkara yang baru bisa dipelajari kemudian. Ketiga, faktor disharmoni keluarga menyebabkan tekanan terhadap urusan lain yang menyebabkan diri menjadi sulit melakukan kontrol. Pisah sama pasangan, hidup dengan mertua, kerja gitu-gitu doang, duit terbatas, cuma bisa main sabun, apa iya nggak bikin meledak? kalau kepala di atas masih bisa adem, di bawah belum tentu. Terkaing-kaing malah.
Ketidakmampuan tersebut memperburuk semua situasi bukan saja terhadap pengaturan hasrat tetapi juga bersikap, bertindak dan memutuskan. Secara personal, orang bisa saja melakukan klaim seksual mulai dari level verbal hingga terburuk adalah pemaksaan. Padahal urusan bisa merembet ke hal lain. Secara kolektif orang lain juga menjadi terganggu lantaran kerja seperti di sebuah usaha, organisasi, kantor atau bentuk kegiatan lain mengalami disorientasi gegara minim pengelolaan hasrat yang berujung kepada dinamika buruk dari tujuan bersama. Bisa dipastikan bahwa setiap bentuk semacam itu adalah buah dari sikap yang tidak profesional.
Jadi jangan anggap remeh soal manajemen libido. Dampak yang ditimbulkan bukan soal yang dianggap personal, psikologis dan seksual. Begitu berelasi secara sosial bahkan profesional dengan orang lain, apapun bentuknya selalu punya resiko ketika yang bersangkutan minim pengalaman untuk mengatur dirinya. Ketidakmampuan untuk mengatur itu memiliki refleksi ketika bekerjasama dengan orang lain. Belum apa-apa sudah melakukan sentuhan, atau jadi baper gegara berfantasi. Urusan jadi panjang ketika resiko-resiko eksternal di luar dirinya mulai diperhitungkan. Maka sangat sulit untuk bisa mengatakan bahwa ada kompleksitas kinerja yang bisa dipertanggungjawabkan ketika manajemen libido sangat rendah. Gimana mau ngatur yang lebih besar jika ngatur kelamin sendiri aja susah? nah!