Beberapa minggu lagi, tahun 2022 tutup buku. Selamat tinggal. Tahun ini ditandai dengan banyak hal; Sikopid sudah mulai mereda, PHK dimana-mana, situasi ekonomi meski tidak separah di belahan dunia lain tetap belum bisa memberikan kepastian. Belum lagi nanti tahun depan sudah masuk ke dalam situasi politik yang mulai menghangat. Seperti biasa, tetap ada optimisme yang berjalan meski sikap skeptis tetaplah dibutuhkan.
Dari tahun ke tahun menjelang berakhir biasanya orang demen membuat resolusi atau pernyataan tentang harapan ke depan. Asa yang digagas kebanyakan berbanding terbalik dengan kenyataan yang sudah didapat selama ini. Semisal pengen bisa hidup sehat karena sepanjang tahun pola konsumsi berlebih dan terancam penyakit. Mau jadi kurus karena selama tahun ini sudah mulai jarang olahraga. Ingin bisa nyicil beli barang yang diinginkan karena terakhir nggak bisa nabung sudah boros duluan. Harapan-harapan yang muncul semacam itu menjadi refleksi apa yang tidak terjadi di tahun yang sekarang. Akan tetapi seberapa banyak harapan bisa terwujud? Mengapa resolusi seolah jadi nggak guna dan hanya berfungsi sebagai kosmetik impian?
Pertama, tidak ada perencanaan yang matang. Kalo mau berubah lebih baik, sudah barang tentu tak bisa hanya mengandalkan sikap spontan, fluktuatif, angin-anginan atau sekedar pengen. Tidak bisa juga hanya yuk yak yuk dengan harapan orang lain bisa ikut dan kemudian menjadi berhasil. Tidak dapat juga hanya berbasis ingin mendapatkan sebuah kesuksesan gegara melihat orang lain sudah duluan. Perencanaan yang matang adalah kunci. Jika ingin mendapatkan yang terbaik di tahun depan, sudah pasti di mulai bahkan sejak tahun-tahun sebelumnya. Kebiasaan orang justru sebaliknya; pengen berhasil dalam sekejap dan merayakannya seketika.
Kedua, unsur selebrasi atau perayaan itu hanyalah sekedar efek samping dan bukan output dari kegiatan yang diinginkan. Itu sama seperti penyelenggaraan event; hitungan sukses yang dipake bukan sekedar banyak orang datang, tapi seberapa dalam mampu mendeliver pesan yang ingin disampaikan. Tanpa kemampuan semacam itu, para partisipan hanya merasa sekedar pernah hadir dan nggak ada kesan yang lebih jauh. Merayakan keberhasilan juga sama saja; itu hanya ungkapan emosional tentang pencapaian yang sudah didapat. Nah, pencapaian itu yang jadi inti dari cerminan kerja keras sesungguhnya dan bukan pesta-pesta doang. Maka banyak juga yang terjebak dengan aktivitas superfisial; merayakan sesuatu padahal tidak punya dampak bahkan makna sama sekali.
“Any new beginning is forged from the shards of the past, not from the abandonment of the past.” ~Craig D. Lounsbrough
Ketiga, dengan mengetahui tujuan dari perencanaan yang muncul sudah barang tentu ada eksekusi yang harus dijalani. Jatuh bangun itu biasa. Gagal adalah penundaan sementara jika berlanjut kemudian dengan cara atau alternatif baru. Mencapai hasil adalah juga kondisi sementara untuk bisa lebih baik lagi. Jadi nggak ada yang permanen. Kebodohan orang adalah menyangka sukses itu permanan dan gagal harus dihindari. Padahal sebuah kesuksesan hanya awal untuk bisa naik tingkat dan gagal adalah proses evaluasi untuk menemukan kekeliruan yang harus diperbaiki. Dengan pola pikir yang miring semacam itu, nggak heran jika sebagian orang takut memulai, hitung-hitungan, maju mundur dan akhirnya bubar. Kalo pun sempat eksekusi, nggak ada agenda, roadmap, timeline atau milestones yang dibuat sebagai acuan atau prediksi. Ujungnya ya lagi-lagi selebrasi temporer. Sebab yang namanya resolusi bukan cuma "tahun depan pengen begini begitu", tapi ada bentuk matang dari pikiran hingga tindakan yang punya komitmen dan konsisten untuk memulai hingga selesai.
Jadi butuhkah, atau tepatnya sanggupnya membuat resolusi akhir tahun?