Belakangan ini lagi rame istilah quiet firing, setelah sebelumnya ada hustle culture dan quiet quitting yang pernah dibahas di sini. Istilah itu belum menemukan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Mungkin 'mundur teratur' jauh lebih bisa diterima ketimbang dipecat diam-diam. Sebab pada intinya nggak ada perusahaan yang 'mau' memecat pegawai, karena ongkos yang harus dibayar cukup mahal. Mulai dari pesangon, hingga kompensasi lain sesuai peraturan ketenagakerjaan.
Jadi quiet firing kemudian dimaknai sebagai sebuah tindakan dari atasan untuk memaksa bawahan agar segera mundur atau resign dengan cara yang halus. Misalnya tidak ada kejelasan beban kerja, promosi dan kenaikan gaji, menghindari komunikasi secara langsung, tidak ada pengembangan karir hingga diperlakukan secara diskriminatif baik tertutup atau terang-terangan dibandingkan karyawan lain. Cara yang lebih keras adalah dengan memindah tugas karyawan pada bagian yang dianggap sama sekali tidak populer atau menjemukan seperti dari marketing ke gudang, atau memberi tugas/project yang sama sekali tidak mungkin untuk diselesaikan. Sebagai catatan, fenomena ini marak setelah Sikopid mereda. Dulu perusahaan nggak punya kontrol penuh terhadap pekerja yang WFH. Sekarang jadi balik lagi bahkan mengeras dengan asumsi untuk membuat kerja menjadi lebih efektif. Makanya New Normal gitu-gitu aja kan? Berasa udah mau balik kayak dulu.
Konsekuensinya, cepat atau lambat si karyawan akan merasa terisolasi baik secara sosial maupun psikis hingga seolah jadi bahan gunjingan. Kemudian akan merasa tidak kompeten, tidak mampu dan tidak dihargai sehingga akan cepat-cepat mencari pekerjaan baru. Dengan demikian, perusahaan tidak merasa perlu memberikan pesangon atau menawarkan program pengembangan lainnya. Pertanyaannya, apakah pola tersebut menjadi sebuah kebiasaan, habit, atau bahkan budaya yang memang sengaja ditumbuhkan sebagai bentuk efisiensi? Artinya, setelah si karyawan keluar, bukan mustahil para penggantinya akan mengalami nasib yang sama. Kok bisa gitu? Dengan demikian, memang sudah pasti mengenali budaya perusahaan menjadi penting. Tapi itu sulit dilakukan tanpa nyebur kedalamnya. Dengan kata lain, informasi yang digali dari luar nyaris tidak dapat memberikan apa-apa. Begitu masuk dalam waktu yang relatif tidak sebentar, maka barulah budaya perusahaan dapat diselami. tentu saja ini mirip beli kucing dalam karung sih. Iya kalo beneran enak, bikin betah dan bisa mengembangkan diri. Lantas bagaimana jika lingkungannya serba beracun, penuh drama, persaingan tidak sehat, tidak mendukung karir, bahkan bingung soal peran yang sesungguhnya? Apalagi sudah teken kontrak dan jadi karyawan tetap. Butuh waktu lagi buat cari-cari. Iya kalo masih muda. Sebab begitu usia 30an ke atas akan ada prioritas serta berhitung soal kesempatan untuk cari kerja lagi.
Hal senada juga terjadi ketika ada dua budaya perusahaan yang berbeda dalam menerapkan gaya marketingnya masing-masing. Sebut saja perusahaan A, sangat gencar dan demanding dalam menuntut karyawannya mencapai target. Mereka harus berjibaku sana sini, belum lagi harus terima teguran bahkan makian. Akan tetapi bonus yang diterima sangat besar. Kemudian ada perusahaan B, yang santai-santai kekeluargaan. Nggak banyak tuntutan, bisa kompromi, tapi take home pay sangat rendah. Orang yang bekerja di perusahaan A pasti ngaku akan stress, lelah dan berasa dikejar. Tapi hepi banget pas terima bonus. Sebaliknya yang di B akan berasa gelisah. Mau keluar karena merasa nggak dapet apa-apa, tapi biasanya urung karena itu sudah jadi zona nyaman. Jadi pesan moralnya adalah, semua keputusan yang berkaitan dengan kerja adalah kembali lagi kepada diri sendiri. Mau burn out atau sebaliknya cemas, adakah konsekuensinya terhadap pengembangan diri?
“The truth is that stress doesn’t come from your boss, your kids, your spouse, traffic jams, health challenges, or other circumstances. It comes from your thoughts about your circumstances.”~Andrew Bernstein
Itulah sebabnya ketika menghadapi situasi seperti quiet firing, maka harus disadari bahwa kerja bukan semata soal gaji doang. Mau tidak mau harus membangun strategi hingga akhirnya memutuskan apakah bertahan atau keluar. Misalnya membiasakan diri dengan secara teratur mencatat setiap penugasan, peristiwa dan kejadian dari hari ke hari sebagai bentuk dokumentasi atas segala perlakuan yang terima. Itu menjadi penting agar ada improvement, bukti dan juga bahan ketika mau menyatakan diri bahwa ada ketidaksesuaian di dalam proses kerja. Selain itu, sangat penting untuk membangun pola komunikasi secara terbuka. Ajak bicara satu persatu mulai dari rekan kerja hingga atasan dengan menghindari drama dan baper. Bisa jadi pola semacam itu belum pernah ada sehingga penilaian atau dukungan menjadi terhambat. Meminta dukungan berkaitan dengan pengembangan diri juga penting dengan memperlihatkan bahwa diri ini adalah aset yang berharga dan patut dipertimbangkan. Masih sulit? Keluar adalah jalan terakhir dengan segala konsekuensinya setelah mencoba hal-hal di atas. Kerja itu penting, tapi kesehatan jiwa lebih penting kan?