Buat hampir setiap orang, tentu punya lingkaran sosial sebagai tempat berinteraksi. Ada yang punya beberapa sekaligus, ada yang satu dua saja. Lingkaran sosial bisa dari pertemanan dekat meski jaraknya jauh, tempat tinggal yang berdekatan, sesama dulu teman sekolah, hingga aktivitas sejenis. Temen kerja? Meski boleh dibilang ini memiliki konflik kepentingan terbesar, tapi tak dinyana bahwa rekan seprofesi bisa juga jadi teman atau lingkaran sosial tersendiri.
Akan tetapi lingkaran sosial itu suka atau tidak punya kontribusi besar. Antara lain dalam berpikir, bersangka dan juga beropini yang nyaris sama ketika intensitas untuk berinteraksi semakin tinggi. Sebab apapun yang ada akan cenderung dibagi sebagai sebuah identitas. Jadi sejauh mana sebuah lingkaran sosial berpengaruh, akan tampak dalam cara pandang, berpendapat dan juga kerangka pikir yang dibentuk. Misalnya seorang pencopet yang kumpul dengan sesama pencopet, sudah pasti pola pikirnya akan sama kan?
Hanya saja, ada beberapa kecenderungan yang terlihat ketika seseorang berangapan bahwa sebuah lingkaran sosial sebagai sebuah pergaulan akan menentukan nasibnya ke depan. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, tapi juga tidak mudah terjhadi begitu saja. Semisal orang yang berupaya mengidentifikasi diri dengan bergaul masuk ke dalam lingkungan yang dianggap berisi orang yang lebih kaya atau pintar. Apakah dengan sendirinya ia akan bisa upgrade ketika masuk kesana? Menambah wawasan sih mungkin iya. Ada banyak informasi dan pengetahuan yang bisa diserap. Menaikkan diri secara sosial sih belum tentu. Sebab selain tidak mudah, secara kultural beradaptasi ke dalam lingkungan sosial yang berbeda tentu butuh waktu. Malah bisa jadi hanya sekedar side-kick atau mendapat peran pinggiran.
Mengapa demikian? Sebab tindakan panjat sosial semacam itu hanya mampu mengena kepada kulit-kulitnya. Ada banyak hambatan untuk bisa mencapai hal yang bersifat substansial lantaran menjadi terlihat kaya atau pintar itu jauh lebih mudah ketimbang kaya atau pintar beneran. Atribut sosial sosial macem kepemilikan atau wacana yang dibangun bisa saja memperlihatkan itu. Tapi untuk beneran mendapat esensi tentang pengertian kaya atau pintar yang sesungguhnya ya sulit. Nggak heran jika kemudian orang berpendapat bahwa dengan pamer kepemilikan atau omongan yang mensiratkan bahwa dirinya cerdas akan jauh lebih penting untuk bisa ditampilkan.
"Few people are capable of expressing with equanimity opinions which differ from the prejudices of their social environment. Most people are even incapable of forming such opinions." ~Albert Einstein
Terlebih jika lingkaran sosial yang ada punya tuntutan yang tinggi untuk itu. Sesama pencuri pasti akan bersaing kan? Jadi nggak akan ada habisnya juga. Orang terjebak kepada sebuah habitat yang boro-boro bisa bikin dirinya berkembang, malah masuk ke dalam lingkaran setan yang akan saling pamer, saling unjuk gigi tapi tidak produktif sama sekali. Melihat hal itu, maka suddah selayaknya siapapun juga harus berani ambil keputusan untuk berpindah lingkaran sosial yang lebih baik. Sebuah lingkungan yang membius, tidak membuat seseorang berkembang, asyik dengan status quo alis nggak ngapa-ngapain, tidak membuat dirinya lebih baik ya pastinya sama aja bo'ong. Apalagi kalo di dalamnya cuma bisa saling sirik dan saling makan. Itu sudah pasti lingkaran sosial yang korosif. banyak maunya tapi bingung mulai darimana dan seperti apa. Tiati aja.