Kini ponsel semakin cerdas. Selain guna berkomunikasi, banyak fungsi lainnya yang sudah diambil alih oleh sebatang telepon. Bisa untuk mengatur interaksi dengan benda lain, mengorganisasi jadwal, serta menggunakan banyak aplikasi yang semakin terspesialiasi untuk kegunaan tertentu. Semakin cerdas ponsel, idealnya pengaturan dan penggunaan bisa maksimal. Sayangnya, dari seluruh fitur yang ditawarkan, paling banter nggak sampe 50% digunakan. Padahal pengguna ponsel cerdas itu kini di tahun 2022 jumlahnya 84% dari total seluruh pengguna ponsel. Harga ponsel cerdas juga relatif tidak murah. Orang memiliki ponsel cerdas bukan lagi semata fungsional, tetapi juga gengsi atau prestise. Semakin mahal, pikirnya semakin jarang yang punya. Padahal dengan segala kemudahan, jaman gini orang bisa memiliki apa saja yang ia mau meski harus ngutang sekalipun.
Hal yang membetot adalah paradoks manusia dengan memiliki ponsel cerdas. Di satu sisi dengan fitur maksimal, orang menjadi bisa mengakses apa saja yang diinginkan di ponsel cerdas untuk mendapat informasi, pengetahuan hingga kemampuan untuk melakukan banyak hal. Akan tetapi di sisi lain, orang membatasi diri untuk semakin tidak bisa dihubungi, tidak ingin diganggu dan kalau bisa hanya untuk hal yang penting saja. Tidak ada centang biru, clear chat, ogah ikut grup, males bikin status, hanya menjadi pengamat saja.
Akan tetapi paradoks itu berkembang menjadi ironi. Beli benda yang relatif termahal dengan fungsi berkomunikasi dan bersosialisasi, malah jadi tidak komunikatif dan asosial. Mengapa? Pertama, bisa jadi orang tidak pernah merasa nyaman dengan bentuk komunikasi virtual Mereka terbiasa runtang runtung kumpal kumpul secara fisik dengan orang-orang yang dikenal. Perubahan zaman dan juga pandemi memaksa penggunakan teknologi dalam berkomunikasi dipercepat hingga 5 tahun mundur. Kalo nggak ada Corona, idelanya jum-juman itu baru ada setelah tahun 2025. Kedua, mereka yang sudah paruh baya tidak nyaman dengan komunikasi semacam itu, dan generasi yang jauh lebih mudah justru malah tidak akrab dengan komunikasi secara fisik. Blokir orang jauh lebih enteng karena nggak pernah ketemu muka sebelumnya. Ketiga, perubahan pola komunikasi semacam itu menunjukkan bahwa turunnya partisipasi tidaklah berbanding lurus dengan antusiasme di dalam berkomunikasi secara sepihak. Buktinya, dari 2 likes, pasti ada lebih dari 10 yang views. Perasaan kepo masih tetap ada. Tapi mau berekspresi aja males. Takut didebat? Takut konflik? Takut nggak bisa manage ekspektasi? sepertinya demikian.
Jadi punya ponsel cerdas tidak selalu membuktikan yang bersangkutan mau secara sosial berkomunikasi dengan baik. Bisa jadi malah makin nyaman di dalam tempurung. Mengamati orang lain, tapi ogah diamati. Menikmati kesepian dalam teknologi itu sungguh mengasyikkan. Sampai tetiba telepon rusak, atau orangnya mati. kalau dah gitu, siapa yang tau? mau bilang apa? Entah. Paling cuma kirim pesan, "turut berdukacita yaa". Kemudian posting berantai pemakaman tanpa pernah datang. Dapet likes lagi, selesai.