Ini ocehan yang agak serius dikit. Konon katanya di alam demokrasi modern, setiap orang punya kesempatan yang sama dalam berbagai bidang. Entah sosial politik ekonomi, pada hakekatnya orang yang menjadi warga negara idealnya bebas dari segala bentuk diskriminasi negatif, ada harapan dan peluang hidup yang setara, bebas dari ancaman dan rasa takut, serta menikmati ragam kemudahan yang diberikan oleh negara melalui aturan dan perundangan yang ada. Nah, apakah pada prakteknya semudah itu? Jelas tidak. Meski secara teoritis segala bentuk kesetaraan dan kesamaan peluang dibenarkan bahkan diwajibkan, namun secara kenyataan dalam praktik sosial budaya tidak mungkin dilakukan. Sebab kondisi sosial politik ekonomi ditentukan dan berlaku melalui beragam lapis praktek budaya, jejaring dan hirarki sosial, bahkan juga menyentuh atribut seperti suku, agama, ras dan identitas lainnya. dengan kata lain, apa pun yang terjadi di masyarakat justru berkutat dari kondisi tersebut.
Ambil saja contoh tentang isu kemiskinan. Dalam negara-negara yang menganut kapitalisme dan mengasumsikan ada kesamaan kesempatan dalam meraih kekayaan, miskisn adalah isu yang semata menyangkut kemalasan. Singkatnya, kalo elu miskin berarti elu nggak mempergunakan dengan bijak segala potensi diri untuk menjadi kaya. Tapi di negara-negara yang indentitas kulturalnya sedemikian kuat seperti Endonesah, miskin bukanlah semata soal malas tapi lebih kepada soal sistem. Semisal dulu sebelum tahun 2000an di Tegal Alur Cengkareng ada banyak orang keturunan Tionghoa miskin. Lelaki jadi buruh atau tukang becak, perempuan jadi tukang cuci. Anak-anaknya nggak bisa sekolah tinggi karena ditanya KTP/KK orang tuanya. Untuk bisa mengurus KTP/KK harus ada Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI. Untuk mengurus SBKRI harus ada KTP/KK. Lingkaran setan kan? Oleh karena tidak sekolah, maka peluang untuk bisa hidup lebih baik melalui pendidikan juga tidak ada. Anak-anak akan kembali mewarisi pekerjaan dan kondisi orang tuanya. Oleh karena itu, kemiskinan muncul secara sistemik lantaran negara mempersulit warganya sendiri, siapa pun mereka. Jangankan yang di Tegal Alur. Susi Susanti, pebulutangkis Indonesia yang sudah berulang kali mengharumkan nama negara juga saat itu masih juga ditanya SBKRI. Rumahnya pun nyaris dibakar massa saat kerusuhan 1998. Kurang apa coba?
Ditambah pula stigma daya yang secara tidak sehat pun muncul. Masa iya ada Cina miskin? Bukannya Cina pinter dagang semua? Pertama, istilah Cina itu pada masa Orde Baru adalah yang lazim digunakan meski tanpa sadar itu adalah bentuk peyoratif. Bayangin aja, secara resmi di Universitas Indonesia namanya masih jurusan Sastra Cina, sementara kalo dimaki 'dasar Cina lu!" jaman itu harus bisa nahan diri tergantung siapa yang ngucap. Kalo temen pastilah becandaan, tapi kalo orang asing siap aja ada kerusuhan. Baru kemudian pasca Orde Baru malah diperhalus dengan Tionghoa atau seperti sekarang China pake ha. Apapun istilahnya, pembedaan itu tidak mengubah apapun. Lihat saja ketika ditanya suku, sebab suku masih jadi identitas kultural mutlak di negara ini. Mana ada suku China, tapi menjawab sebagai Indonesia pun rasanya aneh. Nggak heran Agnes Monica dikecam gegara dia bilang "I am from Indonesia", bukan "I am Indonesian".
Kedua, Cina nggak ada yang miskin dan semunya pinter dagang? Lihat saja di Tegal Alur atau daerah lain yang keturunan Tionghoanya sudah membaur turun temurun. Miskin pun masih tetap ada dan jadi masalah. Kalo pun dianggap hanya bisa dagang dan menguasai perekonomian, itu juga tidak lepas dari peran penguasa dari jaman ke jaman sejak Orde Lama hingga sekarang. Ada masanya sejak Indonesia merdeka ketika orang-orang Cina dicurigai, dan diusir untuk tidak boleh menetap di daerah selevel kecamatan ke bawah di pedalaman. Mereka harus berkelompok tnggal di ibukota kabupaten. Bahkan di Yogyakarta hingga saat ini orang Cina tidak boleh memiliki tanah. Peran sosial dibatasi, masuk jadi pegawai negeri, pamong praja, tentara dan polisi nyaris seperti mimpi. Paling kalo ada, bisa dihitung dengan jari. Oleh karena hanya terbiasa dengan ekonomi, maka sudah pasti berkutat dan menguasai di situ saja. Itu pun juga sudah mengikuti pola keluarga. Mereka yang biasa dengan kuliner, ya pastinya nggak jauh-jauh dari resto. Jualan jam tangan, ya sudah dari sononya. Main di bahan bangunan ya begitu sejak dulu. Berpindah bisnis bukan perkara yang mudah. Relasi dan jejaring sosial ekonomi ada di antara kerabat dan keluarga besar. Baru dalam konteks yang lebih modern saat ini, perlahan pola tradisional itu mulai berubah. Kesempatan sudah mulai lebih terbuka ketimbang era sebelumnya.
Itu pula yang menempatkan mereka di dalam lapis paling bawah hirarki sosial masyarakat sebagai bentuk quadruple minority complex; udah Cina, Kristen atau Buddha, miskin, nggak gaul pula. Di sini masalahnya, sebab suka atau tidak, identitas kultural dalam hirarki sosial masyarakat di Indonesia itu menentukan posisi di mana ente dan keluarga berada. Mau tau yang paling atas? Jokes jaman Orde Baru yang baunya masih ada sampe sekarang mengatakan bahwa adalah Jawa, Islam, tentara pula. Jawanya Jawa Tengah dong pasti. Islamnya juga aliran mayoritas. Tentaranya juga Angkatan Darat, infantri dan pasukan khusus. Ditambah pula kerabat yang jadi pengusaha nasional dan tokoh agama. Sudah pasti karir dalam politik kekuasaan bakal tambah moncer. Gimana kalo kehilangan salah satu faktor, semisal Islam dan tentara tapi bukan Jawa? Atau Jawa, tentara tapi non muslim? Atau sudah ketiganya tapi bukan dari Akmil? Sudah pasti posisi sosialnya bakal berkurang dikit. Semakin banyak faktor yang berkurang, sudah akan turun kasta. Eh, ternyata di Indonesia kasta dalam pemahaman stratifikasi sosial masih berlaku kan? Bahkan fungsi-fungsi sosial budaya semacam itu dipertahankan dengan berbagai cara. Nah, dengan menjadi lapis paling bawah rasanya pesimis jika melihat kenyataan yang ada karena diskriminasi yang diterima bakal paling besar.
Maka nggak heran jika perkawinan, pindah agama dan tradisi keluarga adalah tiga faktor yang biasanya dirawat dan dijaga agar paling tidak kelas sosial bisa semakin mapan dan sukur-sukur lompat ke atas. Perkawinan jelas memegang peranan penting. Ini Indonesia, di mana urusan kelamin bukan milik dua orang tapi dua keluarga besar. Mulai dari lapis terbawah sekali pun amat penting untuk tau siapa pasangan karena bakal menyangkut nasib ke depan. Apalagi buat kelas atas dimana peluang kuasa dan bisnis harus tetap diraih. Jangan mimpi seorang anak di kelas sosial macem begini ini menikah dengan kang bakso depan rumah. Itu cuma ada di sinetron. Pindah agama juga demikian. Oleh karena secara regulasi tidak boleh ada perbedaan agama dalam praktik seperti pernikahan, maka itu mempengaruhi alam pikir kebanyakan orang. Kadang ada yang disyukuri disambut suka cita meski tak lebih sebagai langkah taktis politik, kadang ada juga yang dihujat gegara dianggap lepas dari target market yang idealnya bisa lebih banyak ketimbang kompetitor kan? Sama halnya dengan tradisi keluarga. Menjadi militer, polisi atau profesi ikatan dinas adalah sebuah kebanggaan di negara ini. Sebisa mungkin orang masuk bukan karena soal fasilitas atau pensiun tapi power yang ada bisa menggiurkan. Tidaklah heran jika itu dianggap penting untuk diteruskan oleh anak cucu. Ada pengakuan berupa naiknya kelas sosial di dalam masyarakat apalagi jika sudah bisa menyentuh intinya.
“The middle class were invented to give the poor hope; the poor, to make the rich feel special; the rich, to humble the middle class.” ~ Mokokoma Mokhonoana
Jadi piramida kelas sosial itu semakin meninggi, membesar dan kompleks pada relung ruang-ruang di dalamnya. Seperti anak sekolah jaman dulu, posisi menentukan prestasi. Ukuran kesuksesan bukan saja soal materi atau kepemilikan tapi posisi dan status sosial untuk menentukan langkah selanjutnya. Pertama-tama anda sudah pasti diminta untuk sadar diri dan sadar posisi. Macem dari Jakarta mau minta masuk kuliah di Universitas Udayana Bali, tapi jawab orang tua "Udah Ya Nak, papa nggak punya uang". Lantas apakah bisa mengubah posisi? Sudah pasti bisa, tapi effort yang harus dilakukan juga luar biasa. Ada banyak hambatan non struktural di negara ini untuk bisa menjadi seseorang yang lebih baik dan lebih sukses buat siapa saja, tergantung darimana ia memulai. Jika relasi atau jejaring sosial mendukung, posisi keluarga menentukan, tingkat pendidikan relatif tinggi, maka peluang akan selalu bisa hadir buat orang yang paling malas sekali pun. Sebaliknya, mereka yang rajin, disiplin, punya komitmen dan konsisten, bisa berhasil tapi harga yang dibayar akan jauh lebih mahal dengan ekstra kerja keras. Jika seseorang sudah mampu ke titik dia sudah pasti tidak ingin merosot atau kembali ke awal. Segala daya upaya dikerahkan agar generasi sebelumnya bisa mempertahankan atau syukur lebih tinggi lagi. Piramida sosial bukan saja menjadi bentuk pengakuan terhadap pencapaian personal, tapi juga representasi keluarga, komunitas, bahkan kelas yang ada di belakangnya. Oleh karena itu, kedewasaan orang Endonesah dituntut bisa menghadapi kompleksitas yang jauh lebih besar dalam mengubah nasib, ketimbang cuma mikir bahwa ini adalah upaya personal. Berat kan? Jika hidupmu gagal, maka bukan sekedar malas ternyata. Emang nasib keluargamu cuk.