Salah satu sifat buruk manusia adalah rakus (gluttony), yakni perilaku memanjakan diri dengan mengkonsumsi apapun secara berlebihan. Ujungnya adalah penyia-nyiaan seperti makanan atau minuman. Kata gluttony sendiri berasal dari bahasa Latin yakni gluttire yang berarti menelan. Di Abad Pertengahan, tokoh filsuf seperti Thomas Aquinas menerangkan soal kerakusan itu dalam lima kategori yakni laute (makan makanan yang terlalu mahal), studiose (makan terlalu pilih-pilih), nimis (makan terlalu sering), praepropere (makan terlalu dini) dan ardenter (makan terlalu lahap). Jadi pengertian rakus itu bukan melulu soal makan yang terlalu banyak, melainkan bagaimana orang memperlakukan makanan itu sendiri.
Di dunia pasca modern saat ini, manusia dan makanan sudah sangat terkorelasi dengan cepat, instan bahkan tidak lagi memikirkan bagaimana makanan itu berasal. Ini berbeda dengan jaman dulu ketika orang masih harus berusaha secara fisik untuk mendapatkan makanan dengan bercocok tanam langsung atau berburu. Kesulitan makanan di jamanb sekarang lebih karena resiko konflik seperti perang. Paceklik dan wabah masih bisa disiasati dengan perdagangan dan impor meski harganya sudah pasti melambung. Hal yang menarik adalah generasi yang lahir dan besar di tengah konflik seperti Perang Dunia, sudah pasti punya kebiasaan untuk menimbun makanan. Ini sebagai bentuk refleksi psikologis atas kesulitan yang dilalui pada masa-masa itu. Di jaman sekarang yang relatif sudah tidak ada konflik besar, maka orang cenderung meremehkan makanan sebagai kebutuhan dasar karena yakin masih bisa didapat dengan mudah. Sampai-sampai bisa jadi nanti generasi yang akan datang berpikir bahwa telur ayam dan beras dihasilkan di pabrik karena tidak pernah lagi melihat peternakan dan pertanian.
Artinya, jarak fisik antara manusia dan makanan menjadi semakin jauh tapi semakin mudah untuk didapat. Terlebih dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, orang mengandalkan aplikasi untuk memesan makanan dan langsung tersedia beberapa menit kemudian. Seiring dengan itu, manusia juga menjadi semakin harus karena berpikir makanan mudah didapat. Kita masih ingat jika ada resepsi pernikahan yang menyajikan prasmanan dan resto all you can eat, dimana banyak orang terpancing naluri primitif kerakusannya untuk mengambil sepuas hati tapi tidak pernah memakannya sampai tuntas. Belum lagi kalo menggunakan aplikasi maka makanan yang dipesan ternyata tidak sesuai dengan selera maka dibuang begitu saja. Dengan demikian mengkonsumsi makanan bukan lagi perkara dasar soal mengatasi rasa lapar. Lebih dari itu makanan juga sebagai simbol status lantaran mahal dan bisa dipamerkan di media sosial. Makanan menjadi obsesi tersendiri untuk bisa meraih kepuasan selain kenyang. Sebab kekenyangan dianggap sebagai kenikmatan dibandingkan sekedar mengisi perut secara pantas. Makanan juga jadi dibuang-buang dan menumpuk menjadi sampah.
Berkaitan dengan itu, data riset yang dilakukan sebuah media di tahun 2022 menunjukkan bahwa sisa makanan yang dibuang oleh orang Indonesia nilainya mencapai 330 tilyun Rupiah per tahun. Sampah makanan menjadi jenis sampah terbesar di Indonesia. Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020, sampah makanan mencapai 40 persen dari total sampah yang dihasilkan masyarakat di 199 kabupaten/kota. Bayangkan jika di Jakarta saja yang sisa sampah makanannya mencapai tiga juta ton lebih per tahun, maka per kepala dihitung secara pukul rata melakukan pemborosan lebih dari setengah kilogram makanan per hari atau senilai Rp.460.878,20 per bulan.
Sungguh pemborosan yang luar biasa ya? Nggak usah jauh-jauh membandingkan dengan mencana kelaparan atau paceklik dimanapun juga. Sebab umumnya kita percaya negeri ini subur makmur, tongkat dan batu bisa jadi tanaman kata Koes Plus. Saking suburnya kita lupa bahwa sumber-sumber apa yang kita konsumsi semakin sedikit berbanding dengan populasi yang kian banyak. Lahan pertanian semakin sedikit sudah jadi ruko, sedangkan impor harus dilakukan bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu, dengan kerakusan kita memelihara kebiasaan-kebiasaan lain seperti buang sampah sembarangan, demen pake plastik untuk bungkusin apapun, sampai mengandalkan pengawet biar tahan lama meski sebenarnya itu berbahaya. Ini ironis sebenarnya, sebab orang Indonesia lebih mementingkan urusan makanan yang dikit-dikit harus sesuai kaidah agama ketimbang memperhatikan efek lingkungan seperti pencemaran, bahan pengawet dan kesehatan secara umum.
“He who is not contented with what he has, would not be contented with what he would like to have.” ~Socrates
Jadi kita tahu kelak apakah dengan penyia-nyiaan, pemborosan dan perlakuan yang menganggap remeh makanan serta berujung kepada kerakusan itu akan terus terjadi? Bertambah buruk? Atau malah kita hanya menganggap makanan bukan lagi hasil jerih payah melainkan atribut yang bisa diperlakukan dan digunakan sesuak hati. Orang boleh saja hingga saat ini berdoa sebelum makan, tapi dengan kelakuan kayak gitu ya sama aja pepesan kosong. Nggak ada isinya. Tinggal kata-kata manis bersyukur di tengah semakin langka, mahal dan tidak terjangkaunya urusan perut bagi orang lain.