Pernahkah anda diramal? Perasaan apa yang muncul? Suka atau tidak, biasanya orang menjadi penasaran. Ada hasrat ingin tau yang cukup besar ketika disodorkan sesuatu yang tidak bisa dikunyah oleh akal, ruang fisik dan waktu. Semisal diramal soal pasangan atau pekerjaan. Orang yang diramal sudah pasti punya setumpuk harapan. Pengen dapat jodoh segera, bisa menemukan pekerjaan yang cocok bahkan setiap tuntutan hidup yang dianggap belum bisa dipastikan jawabannya. Nah, hasrat ingin tau itu mendorong orang untuk mencari jawaban. Tidak mengherankan jika tanpa kehati-hatian kemudian membawanya pula kepada penipuan, scamming atau bahkan tindak kriminal lain bukan karena ramalan, tetapi gegara percaya kepada orang lain yang punya niat mengeruk keuntungan.
Ramal meramal adalah kegiatan yang sudah berlangsung sejak sangat lama dalam kebudayaan manapun. Peran dukun, orang bijak, orang pintar, atau sebutan sejenis, mengambil porsi tertentu di dalam sebuah masyarakat sebagai elit sosial tersendiri yang memberi kontribusi berdasarkan kemampuannya membaca tanda-tanda alam. Jadi urusan ramal meramal bukanlah memiliki prioritas kepada kepentingan personal seperti saat ini, melainkan kepentingan kolektif seperti membaca perubahan cuaca, melihat perilaku hewan, serta tanda-tanda lain untuk menentukan kapan saat yang tepat untuk bercocok tanam, membuka sawah atau ladang, memanen dan lainnya. Seperti halnya di Jawa dan Bali, pengetahuan semacam itu kemudian dibuat tertulis dan dijadikan pegangan selama beratus-ratus tahun. Kepentingan kolektif pun mulai merambah kepada kepentingan personal untuk menghitung secara lebih detail perubahan dan perkembangan apa yang kemudian bisa diketahui lebih dahulu agar ada benefit yang bisa didapat. Maka catatan juga berkembang, semisal di Bali ada lontar pengayam-ayam yang mengidentifikasi jenis ayam hingga kapan waktu terbaik untuk metajen atau mengadu ayam dan menang. Ada juga lontar berkaitan dengan batu akik untuk mengetahui jenis dan peruntungannya kepada si pemakai.
Pengetahuan, seperti dalam bahasa Jawa kaweruh dan kemampuan membaca tanda-tanda alam tersebut juga didapat dengan talenta, belajar, dan bukan sekedar bayar seperti layakna sekolah di jaman sekarang. Segala perhitungan dengan probabilitasnya harus dapat menjadi tinggi karena kebiasaan dan juga situasi lingkungan dimana orang hidup dan memang harus pandai-pandai membaca tanda agar dapat menyesuaikan diri dengan alam. Dengan adanya modernisasi, perubahan sosial ekonomi hingga teknologi, perkembangan pendidikan formal, bahkan agama-agama besar kemudian menyingkirkan peran kaweruh sebagai sesuatu yang dilihat tak berdasar, tanpa nalar, mistik bahkan klenik, dan tidak sesuai dengan situasi masyakat saat ini. Ramal meramal dianggap sebagai kegiatan yang tidak berguna dan hanya memelihara tahyul. Ini lucu, sebab pergeseran cara orang untuk mengetahui sesuatu kemudian menjadi seolah terputus. Ada asumsi bahwa jaman dulu ketika peran dukun dan orang pintar itu masih ada, masyarakat dibutakan dengan posisi elit sosial mereka yang menentukan nyaris segala hal dari segi kehidupan. Akan tetapi pada saat ini, apakah kemudian orang juga merdeka belajar dan punya pengetahuan modern yang mampu menjawab hal sebelumnya? Belum tentu.
Lantas apakah ramal-meramal jadi punah? Tentu saja tidak. Di satu sisi memang masing ada orang yang mempelajari kaweruh, atau pengetahuan yang berbasis tanda-tanda alam secara otentik. Artinya, mendalami hal tersebut sebagai bagian dari adat yang berlaku dan juga perannya di dalam masyarakat meski jumlahnya semakin sedikit. Sebab kebutuhan akan hal tersebut dianggap sudah banyak yang bisa dijawab oleh teknologi modern meski hasilnya belum tentu memuaskan. Misalnya mengelola cocok tanam menggunakan pupuk kimia biar hasilnya cepat tapi konsekuensinya tanda alam seperti habitat burung dan binatang lain juga menghilang. Di sisi lain, di dalam masyarakat urban perkotaan dan industri, pengetahuan tersebut dipelajari secara teknis, tidak bersentuhan dengan alam, mengalami komodifikasi sehingga bersifat komersial atau berbayar. Apa yang dipelajari juga menjadi campur aduk. Bandingkan antara dukun membaca kartu lintrik di pedusunan dengan pembaca kartu tarot yang duduk manis di kafe. Keduanya jelas adalah kosumsi untuk masyarakat yang berbeda. Kartu lintrik yang berfungsi sebagai pelet adalah cerminan masyarakat tertutup dan tradisional yang tidak mampu mengekspresikan hasratnya sehingga membutuhkan medium untuk mencapai apa yang diinginkan. Sedangkan kartu tarot adalah kebutuhan masyarakat yang dianggap lebih modern untuk bisa menerangkan nasib sebagai entitas yang harus ditaklukan demi perkembangan ke depan. Jika dulu disebut perdukunan, sekarang istilah kerennya okultisme.
Artinya, meski ada komodifikasi dan komersialisasi ternyata mental masyarakat tetaplah tidak berubah. Orang boleh saja mengatakan anti atau tidak suka dengan aktivitas ramal meramal atau clairvoyance, namun perasaan dan hasrat ingin tahu itu selalu muncul dan biasanya berhasil dipancing dengan argumen-argumen yang lebih modern. Kekosongan ruang sosial dan personal di dalam dunia yang serba material membuat hasrat itu semakin besar. Hanya saja dalam titik tertentu orang kemudian bisa menjadi naif dan tidak menggunakan akalnya sama sekali. Komodifikasi dan komersialisasi kemudian menempatkan dukun atau orang pintar dalam konteks itu sebagai penyedia jasa dan mereka yang membutuhkan adalah sebagai klien. Antara penyedia jasa dan klien sudah pasti ada transaksi apapun bentuknya. Entah sejumlah uang atau barang, pertukaran tetap terjadi. Adakah ukuran yang bisa digunakan untuk memperlihatkan sejauh mana produk penyedia jasa bisa memuaskan? Tidak ada. Sama seperti orang membeli jimat; apa ukuran soal efektivitasnyas? Bisa jadi soal sugesti jauh lebih besar dan itu jelas muncul dari diri sendiri dan bukan orang lain.
"Whatever we expect with confidence becomes our own self-fulfilling prophecy." ~Brian Tracy
Jadi di masa modern sekarang, peluang orang untuk terjebak kepada hal yang tidak diketahui dan harus mengeluarkan biaya, jauh lebih besar ketimbang dulu. Pada masa lampau, dukun dan orang pintar memang menentukan secara sosial namun reputasi yang ada diketahui terbuka bagi masyarakatnya. Sekarang orang ingin keuntungan yang didapat bisa lebih personal, teknis, instan, sugestif, result oriented dan ada biaya yang dikeluarkan. Mereka yang kemudian mengklaim diri entah sebagai dukun, peramal atau orang pintar adalah orang yang belajar pengetahuan itu secara teknis semata. Ramalan kini dapat dengan mudah ditemukan di dunia maya melalui aplikasi atau situs yang memberikan teaser dan selanjutnya berbayar. Mau gratis? Baca saja ramalan bintang setiap hari. Selama orang masih dengan mudah terpancing untuk mengetahui hal-hal yang ingin diketahui dengan mudah dan cepat, maka komodifikasi dan komersialisasi masih tetap mendapatkan porsinya di dalam masyarakat modern. Paradoks memang; membangun rasa percaya diri dengan menukar sikap inferior kepada pengetahuan yang sudah dikemas untuk cari untung. Itu juga nggak semata duit, tapi bisa jadi popularitas macem hype di media sosial. Maka nggak heran situasi semacam demikian dimanfaatkan oleh orang yang menggunakan ramalan sebagai upaya mencari cuan dan kontroversi -namanya juga era medsos.
Eh, itu kartu tarot kok malah diumpetin? Mahal lho beli di kotopediya.