Belum lama ada berita jika seorang mayor tentara memperkosa seorang letnan. Si mayor lelaki berkeluarga anak dua, sedangkan si letnan masih gadis belum menikah. Berita ini awalnya cukup heboh di media lantaran isu perkosaan adalah hal yang sensitit. Kejahatan seksual nggak bisa dipandang remeh. Apalagi itu terjadi dalam sebuah institusi yang dianggap sangat maskulin. Akan tetapi berita tersebut menjadi antiklimaks gegara penyelidikan yang dilakukan, memperlihatkan bukti-bukti bahwa itu bukan perkosaan melainkan hubungan suka sama suka. Lantas mengapa bisa ada laporan perkosaan? Mengapa kalo suka sama suka kemudian bisa jadi anyep dengan aduan soal kekerasan seksual?
Buat mereka yang mengikuti dan memahami secara psikologis, fenomena itu disebut dengan relabelling; memberi label atau atribut ulang kepada relasi di antara kedua orang secara sepihak. Awalnya memang suka sama suka, tapi karena yang satu sudah berkeluarga maka sudah pasti ada ketidaknyamanan. Apa yang harusnya dilakukan terang-terangan, malah jadi sembunyi-sembunyi. Itulah sebabnya adalah istilah pelakor atau pebinor kan? Nah, ketidaknyamanan itu kemudian bisa berbuntut panjang. Kolega mencium ada yang nggak beres, sodara mulai curiga, tetangga sudah berbisik jadi gosip. Dengan demikian, siapa yang disalahkan? Sudah pasti dalam konteks di atas adalah si perempuan. Maka untuk membalik keadaan, cuci tangan, sapu bersih, relasi yang awalnya suka sama suka kemudian diberi label ulang sebagai relasi yang menindas, tidak setara, asimetris, bahkan berujung kepada kekerasan. Sampai pada satu titik momentum dimana ketidaknyamanan itu mulai berbuah seolah jadi pemaksaan. Padahal si lelaki masih menggunakan paradigma yang belum berubah; masih suka sama sukak kenapa tetiba dituduh memperkosa?
Itulah sebabnya kemudian kesalahan ditemukan kepada keduanya, bukan hanya si lelaki tetapi juga perempuan. Dalam konteks institusi itu adalah aib karena bukan saja ada hubungan yang tidak pada tempatnya, tetapi juga memalukan nama lembaga masing-masing. Lebih dari itu, keduanya memang tidak siap untuk mampu menjalankan relasi dengan resiko yang ada. Itu yang paling fatal. Sebab mau tidak mau, hubungan di bawah tangan harus sembunyi-sembunyi. Nggak ada peluang untuk tampil. Bisa jadi si perempuan resah dengan status, bisa jadi si lelaki pusing mikirin dua dapur. Itu sudah resiko pastinya. Biaya nggak cuma mahal di materi tapi juga perasaan.
Akan tetapi yang menarik adalah isu perkosaan selalu jadi kartu gender yang paling mematikan terutama jika dimainkan oleh para feminis. Pertama, seolah perkosaan itu adalah murni kesalahan pria yang nggak bisa mengendalikan tititnya dan perempuan selalu jadi korban. Perkosaan bisa terjadi pada siapa saja termasuk lelaki dan perempuan, meski persentase lelaki diperkosa perempuan jauh lebih kecil dibandingkan lelaki diperkosa lelaki. Kedua, dengan paradigma yang dibangun bahwa itu adalah hubungan asimetris dan lelaki jauh lebih dominan, maka perempuan selalu jadi korban yang tanpa pandang bulu harus dilindungi. Padahal berkaca dari kasus itu, isu perkosaan juga bisa relabelling dari hubungan suka sama suka yang anyep. Bisa jadi si perempuan juga pengen kelihatan sah dan menagih janji, tapi si lelaki terbentur aturan maka untuk memutarbalik keadaan terjadilah pemunculan itu tersebut. Ketiga, meski umumnya orang sudah mengetahui bahwa perkosaan adalah perihal kuasa dan bukan semata hasrat seks tapi bumbu berita selalu membuat perkosaan menjadi hal yang membuat orang penasaran. Gimana nggak pusing jadinya.
“Most men fear getting laughed at or humiliated by a romantic prospect while most women fear rape and death.” ~ Gavin de Becker, The Gift of Fear: Survival Signals That Protect Us from Violence
Jadi urusan kelamin itu selalu memukau, terutama buat mereka yang menjadikannya senjata sosial osikologis untuk menerapkan pola pikir keliru bahwa itu berat sebelah dimana lelaki adalah selalu menjadi terdakwa. Padahal perihal titit meki itu sekurangnya memang masalah dua manusia berbeda. Kalo merayakan pertemuan kelamin secara sah dengan prosesi pernikahan mulai dari lamaran sampe resepsi yang menguras materi, mental dan fisik, lantas apakah yang model di balik karpet diem-diem suka sama suka juga harus sama? Ternyata banyak orang yang tidak siap dengan keputusan yang dibikin. Kalo mau jadi pebinor atau pelakor, mainkan peran dengan baik seumur hidup. Nggak perlu menye-menye pengen bisa normal kalo jalan yang dipilih saja sudah tidak normal. Mau lelaki atau perempuan pada dasarnya ya sama. Keduanya bisa jadi pelaku, jadi tertuduh. Kalo selamanya menempatkan perempuan sebagai korban , ya itu sama saja membuat perempuan selalu punya asumsi sebagai orang yang berdaya. Mau diberdayakan terus? Tergantung proposal dan pendonornya dong ya.