Buku karya Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving A F*ck atau Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodoamat yang terbit pertama kali tahun 2016 tergolong laris manis. Konon hingga kini pembacanya sudah mencapai dua juta orang lebih. Intinya buku itu memang mengajarkan orang untuk nggak terlalu peduli dengan omongan atau kondisi yang diciptakan oleh orang lain. Biar nggak kepikiranlah, terserahlah, dan sebagainya. Kalo mau baca tips-tips bagaimana melakukan hal itu, baca saja bukunya. Siapa tau menarik.
Akan tetapi yang lebih menarik adalah mengapa orang butuh hal semacam itu? Mengapa untuk tidak peduli aja masih kudu diajarin? Mengapa orang banyak yang canggung untuk bersikap benar-benar cuek dan mikirin? Sebab pada kenyataannya, memang tidak semudah itu. Orang cenderung kepikiran meski berlagak abai atau tidak peduli. Biarpun seolah temboknya keras dan tinggi, tapi dibalik tembok itu suka terlalu empuk makanya dijaga ketat. Hayo ngaku ajalah. Nah, dengan kenyataan demikian, tentu saja butuh yang namanya penguatan atau upaya untuk meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Bayangin aja, udah mantap pandangan lurus ke depan, tapi gegara bimbang masih saja tolah toleh lihat ke belakang.
Hal itu terjadi karena pada dasarnya orang punya batas kecemasan yang berbeda-beda. Secuek apapun terhadap orang lain, tetap saja dirimu pusing, ingin tau bahkan memikirkan omongan mereka. Alasannya sih sepele, kadang opini orang bisa menjadi sarana untuk evaluasi dan pengembangan diri terlebih jika pendapatnya kontstruktif. Tapi namanya juga omongan yang nggak bisa dikontrol baik isi atau pengucap, malah sering jadi salah sasaran. Pendapat orang malah jadi destruktif atau korosif. Apalagi yang ngomong juga tipikal manusia serba sirik. Ini gayung bersambut ketika ente pada awalnya emang mau mendengar yang bagus-bagus aja. Dijilat itu enak kan? Jadi mangkel ketika yang diterima adalah sebaliknya. Jadi menentukan batas kecemasan itu penting. Kasih porsi yang wajar terhadap apapun yang datang dari luar, supaya nggak merasa takut terhadap diri sendiri. Kalo dibiarin, ntar bakal kepikiran, susah makan, insomnia, sembelit, ntar repot kan jadinya?
Itu berarti ada kebutuhan untuk mengenal diri sendiri jauh lebih dalam sebelum beneran bisa cuek terhadap orang lain. Seberapa diri ini bergantung terhadap orang lain? Apa yang bisa dilakukan agar bisa lebih independen? Nah, ketergantungan baik terhadap apa kata dan tindakan orang lain juga membuat indikator tertentu terhadap seberapa bisa bodoamat. Ada yang merasa super abai sehingga peduli setan omongan orang tetap juga nabrak tembok. Ada yang harus merasa denger sana sini untuk meyakinkan tapi juga tidak mengambil tindakan apapun. Keduanya adalah titik ekstrim yang berbeda dan jelas punya kekurangan masing-masing. Maka penting untuk benar-benar membangun karakter personal yang memadai sebelum memtuskan berada di antara kedua titik tersebut. Dengan kata lain, menjadi diri sendiri bukan berarti puas dengan apa yang sudah ada. Itu sih nggak berkembang sama sekali. Akan tetapi dengan belajar menerapkan kualitas yang lebih baik maka keputusan untuk bisa independen atau mandiri akan lebih kuat pada saat harus belajar untuk tidak peduli.
“Who you are is defined by what you’re willing to struggle for.” ~Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life
Dengan menjadi mandiri, maka ada perasaan secure atau aman yang menjadi dasar pegangan untuk pengambilan keputusan. Mau orang lain ngomong apa kek, tanpa bodo amat sekalipun tidak akan berpengaruh. Itu bukan karena sekedar pede tetapi juga punya kalkulasi yang benar-benar bisa dihitung serta tidak bersikap reaktif hanya karena pengaruh dari luar. Tentu saja itu berbeda dengan berlagak cuek bebek lantaran nggak ngerti dan mendalami persoalan, maen tabrak, atau semata ingin beda dengan orang lain. kemandirian semacam itulah yang kemudian membentuk pola pikir, peduli dalam batas tertentu terhadap orang lain serta memastikan porsi kekuatiran dalam batas yang bisa diterima baik secara sadar maupun bawah sadar. Sebab yang bawah sadar inilah yang membuat orang menjadi gelisah tak karuan. Pikirannya sih rasional, tapi jika bawah sadarnya mellow yellow ya sama aja boong kan.
Jadi siapa bilang bodoamat itu gampang? Sulit malah. Kalo salah pirit, malah jadi amat bodo ntar.