Umumnya orang tidak begitu dapat membedakan antara romantis dan romantik. Meski kedua kata tersebut hampir sama, tapi berbeda makna. Romantis adalah perasaan cinta yang sangat kuat terhadap orang lain. Sudah pasti perasaan semacam itu menunjukkan cara, jalinan dan tindakan yang berkaitan dengan afeksi dan emosi. Tidak saja mereka yang berani jatuh cinta, orang yang perhatian sekalipun akan mencoba menunjukkan perasaan kepada yang dicintai. Menjadi romantis pun tidak mampu dilakukan oleh setiap orang. Ada saja yang enggan, sungkan, canggung, malu-malu anjing untuk mengekspresikan perasaan. Sebab tidak semua orang terbiasa dengan bagaimana berekspresi. Kemungkinan basi dan takut ditertawakan adalah alasan untuk tidak menjadi romantis.
Lain halnya dengan romantik. Kata itu punya dua konteks yang berbeda. Pertama, adalah gertakan budaya yang muncul di abad ke-18 hingga ke-19 dan identik dengan pencapaian seni tertentu. Kedua dan yang dibahas di sini adalah sikap yang selalu mengenang masa lalu. Dengan demikian romantisme atau romantik adalah sebuah cara pandang yang melotot ke belakang, berasumsi bahwa apa yang ada di masa lampau adalah yang terbaik ketimbanga saat ini atau bahkan masa depan. Jika romantis adalah perasaan cinta dengan ekspektasi ke depan, maka romantisme atau romantik adalah kebiasaan yang justru berlawanan. Orang yang patah hati dan enggan melirik yang lain, bisa disebut romantik. Orang yang cuma mengulang-ngulang bahan basian di media sosial juga bisa disebut romantik.
Lantas mengapa orang menjadi romantik? Kalo soal romantis sih gampang; sudah pasti urusan jatuh cinta. Menjadi romantik justru lantaran nggak mampu melihat ke depan, enggan berubah atau malah tidak ingin ada yang baru sama sekali. Bayangin aja, semisal rezim Tokugawa yang berkuasa selama 250 tahun di Jepang adalah insitusi yang cenderung romantik, karena ingin membekukan waktu. Tidak ada yang boleh berinteraksi dengan dunia luar, semua harus sejalan dengan tradisi, dan lebih parah lagi adalah sistem penggajian samurai yang cuma pake beras. Konsekuensinya adalah semua perubahan ditolak. Segala bentuk modernisasi dipandang sebagai sarana yang membahayakan. Membekukan waktu sudah pasti nggak cuma urusan rezim tapi juga individu.
Kok bisa? orang yang berpikir romantik akan cenderung tidak ingin berubah. Idealisme yang dipelihara secara mengawang akan menuntunnya ke dalam situasi nyaman yang sudah pernah ada. Membandingkan dengan segala hal di masa kini bahkan masa depan adalah tabu. Padahal sudah sejatinya hidup terus berubah. Rasa cemas untuk mendapatkan kesukaran dan kesulitan di masa depan akan membuat orang untuk dengan segala cara menolak perubahan itu sendiri. Apalagi dengan ketidakpastian yang semakin sering muncul. Maka ada orang yang dengan tidak tanggung-tanggung akan tetap bertahan dalam situasi yang menurutnya nyaman.
“Life is not a song, sweetling. Someday you may learn that, to your sorrow.” ~George R.R. Martin, A Game of Thrones
Nah, bayangkan jika ada orang yang sudah romantik, tapi nggak romantis pula. Bertahan dalam skema masa lalu, merasa sudah besar, tapi terjebak dalam pengulangan rutinitas yang tidak pernah berubah. Mereka nggak akan bisa menjawab; mau sampai kapan? Sebab nggak ngapa-ngapain itu enak. Apalagi sambil mimpi di siang bolong. Sibuk masturbasi di balik selimut dan kasur kapuk buluk. Asyik kan?