Dalam mengambil keputusan menjalani hidup, wajar tengok kanan kiri. Apalagi kalo melihat temen-temen sudah jauh lebih berhasil. Udah punya pekerjaan tetap, gaji bagus, karir oke, bisa beli ini itu, punya pasangan, sebagian dan beranak pinak memamah biak, ada rumah, ada mobil, dan seterusnya. Intinya, apa yang dulu pernah dikhayal bareng ternyata mereka sudah lebih dulu mewujudkan impian. Nah, tengok tangan kiri itu berujung kepada cemburu, minder dan kemudian bertanya dalam hati, "kok gue gini-gini doang sih?". Iri bilang boss. Cibiran semacam itu justru bisa jadi muncul di kepala sendiri.
Nah, kok bisa gitu? Pertama, hal yang seringkali dilupakan adalah setiap orang memang punya jalan masing-masing. Akan tetapi sangat sedikit yang paham bahwa jalan itu sama terjalnya bahkan mungkin lebih panjang berliku. Apa yang sering disaksikan, terlebih lewat media sosial bisa jadi hanya cuma senang-senangnya aja yang ditampilkan. Wajar kan? Mana ada orang yang mau kelihatan susah. Mengeluh sedikit, sudah pasti banyak yang senang. Selebihnya nggak peduli. Kedua, jalan panjang terjal berliku itu kemungkinan juga sudah dilakukan dan diawali sejak lama. Pada saat orang masih punya waktu bersenang-senang, mereka sudah keringetan duluan. Ketika yang lain baru mulai, mereka sudah sampai di ujung jalan. Jadi wajar jika beberapa sudah menunjukkan keberhasilan. Ketiga, sukses atau berhasil itu sementara. Sama halnya dengan kegagalan. jadi kalo sekarang lagi senang, belum tentu besok girang. Jika saat ini bersedih, masih ada waktu esok buat bahagia.
Jadi perasaan sirik macem gitu nggak ada gunanya. Justru harusnya berkaca sama diri sendiri. Udah ngapain aja? Udah bisa apa saja? Kalo belum, ya lakukan diam-diam biar nanti hasil yang bicara dan berteriak dengan sendirinya. Artinya, pola pikir di awal justru membedakan mana orang yang kemudian bisa banting tulang dan mendapatkan hasilnya, mana yang ongkang-ongkang kaki dan baru menyesal kemudian. Apalagi sukses tidak sekali pukul. Ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang didapat setelah gagal sekian lama. Itu pun jadi pemanasan sebelum masuk kepada keberhasilan yang lebih besar. Jangan lupa ada juga kegagalan yang lebih gede. Itu wajar. Namanya juga tangga menuju sukses yang lebih besar lagi, patutlah digilas dan dipoles dulu biar siap mental.
“The worst part of success is trying to find someone who is happy for you.” ~Bette Midler
Maka pameo "rumput tetangga terlihat lebih hijau itu" harusnya juga diikuti banyak premis. Bisa jadi memang lebih hijau karena dirawat dengan benar. Bisa jadi lebih hijau karena rajin dikasih pupuk dan disiram. Tapi jangan lupa, tagihan listrik dan airnya juga besar. Butuh pompa buat menyiram rumput. Butuh tenaga buat menggunting dan merapikan. Emangnya lebih hijau dan lebih bagus itu nggak ada biaya? Nggak ada perjuangan? Nggak ada jatuh bangun buat menjadikannya sedap dipandang mata? Jika hanya mikirin rumput tetangga tanpa pernah melirik taman sendiri, ya gudbai aja. Sudah pasti yang menghijau bukan rumput tapi mata gegara iri terus melihat orang lain.