Berbicara soal kebudayaan dalam konteks lelaku, maka biasanya orang entah dengan ilmu atau benda seperti tosan aji berharap bisa sakti mandraguna. Kata-kata semacam ini kalo dilihat aspek etimologis berarti memiliki daya di luar kemampuan manusia biasa sehingga dapat melakukan tindakan apapun seperti kebal, menakutkan, atau hal-hal di luar nalar.
Sebenarnya ini pemahaman yang keliru. Istilah sakti tiada lain adalah kekuatan aspek feminin dari balik sisi maskulinitas yang bermanifestasi ke dalam sosok Dewa sebagai representasi kekuatan alam. Misalnya, Dewa Siwa memiliki sakti Dewi Parwati yang dalam wujud mengerikan sebagai Batari Durga. Dewa Wisnu mempunyai sakti Dewi Laksmi dan Dewa Brahma memiliki sakti Dewi Saraswati. Dewa Brahma adalah representasi kekuatan alam yang mencipta, Dewa Wisnu memelihara dan Dewa Siwa melebur agar entitas yang ada dapat kembali tercipta dan seterusnya. Jika dilihat dari kacamata makrokosmos dan mikrokosmos, maka manusia menjadi sakti maksudnya adalah memahami secara utuh dualitas aspek yang ada di dalam diri dan lingkup terkecilnya yakni berpasangan.
Oleh karena itu sakti bukan karena memiliki ilmu atau pusaka, tetapi menempatkan diri dalam dualitas sebagai kekuatan. Maka jangan heran jika lelaki Nusantara itu dulu sakti-sakti; berani tampil di depan karena istrinya yang mendorong dari belakang. Mandraguna sebagai lelaki karena ada perempuan yang menjaga dari belakang. Menjadi limbung nggak karuan, ketika saktinya tak terurus, kepayahan, menghilang atau meninggal. Nggak percaya? Lihat saja berapa Kepala Negara republik ini yang akhirnya mellow nggak karuan karena istrinya wafat.
Tapi lebih konyol lagi, udah pengen sakti, berharap bisa kaya. Padahal nggak ada hubungannya. Mana ada ilmu atau pusaka bisa bikin kaya, kecuali situ lelaku pesugihan. Sakti adalah membangun rasa percaya diri, sanggup menjalani hidup bahkan terkadang mampu melewati rintangan yang di luar nalar. Pengen sakti? rawat diri dan pasanganmu baik-baik. Di situlah mandraguna yang sebenarnya.