Hampir semua orang ingin menjadi lebih baik di dalam hidupnya. Dengan menjadi lebih baik dibandingkan masa lalu, maka masa depan bisa lebih cerah. Untuk menjadi lebih baik, butuh perubahan. Di dalam perubahan itulah seringkali tidak mudah untuk melakukan sesuatu yang bertujuan untuk lebih baik. Mengapa? Alasan bisa macam-macam. Mulai dari soal keseriusan, niat, komitmen awal, tindakan dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika segudang impian kemudian hanya bisa bermutasi menjadi seonggok arang. Jalan untuk menjadi lebih baik memang nggak gampang. Konon ada penelitian yang menyatakan bahwa hidup yang biasa-biasa banget alias medioker itu bukan karena orangnya nggak mau atau nggak niat untuk berubah, melainkan karena inkonsistensi yang akut atau kronis. Jadi bisa dibayangkan jika niat untuk menjadi lebih baik itu bertaburan. Tapi mewujudkannya memang butuh keseriusan. Serius untuk mau berubah.
Inkonsistensi atau sikap plintat-plintut itu memang menyebalkan. Bisa jadi di awal sudah punya rencana tapi baru mau bergerak mendadak batal. Atau sudah jalan separuh, kemudian ditinggal begitu saja. Sudah mau sampai garis finish, tetiba balik punggung. Persis seperi resolusi Tahun baru; begitu semangat dikatakan, tapi dua minggu kemudian sudah menderita amnesia selektif. Lupa dengan basa-basi sebelumnya. Jadi tidak mengherankan bahwa sebenarnya orang yang inkonsisten itu selalu bermasalah dan tidak pernah berhasil di dalam hidupnya. Niat bisa sejuta macam, keseriusan ada sebagian, tapi komitmen dan mengatur langkah hingga selesai itulah yang bisa dihitung dengan jari.
Oleh karenanya, sikap inkonsistensi itu menjadi berbahaya ketika sudah melibatkan orang lain. Entah karena kesamaan niat, komitmen bareng di awal, hingga perencanaan yang sudah di buat. Konteksnya bisa relasi personal, organisasi, hingga profesional. Orang yang inkonsisten tidak akan pandang bulu terhadap konteks tersebut. Semua dihajar tanpa pandang bulu. Satu-satunya yang bisa membuatnya menggerakkan pantat untuk tetap lanjut adalah semata soal duit. Itu pun biasanya cukup dijajanin aja. Tapi bayangkan jika motif semacam itu yang menjadi acuan. Akan kemanakah relasi yang berjalan? Mengerikan jadinya. maka nggak heran jika inkonsistensi itu hanya berakhir pada hal-hal yang biasa banget. Kalo ada yang nggak biasa, paling cuma klaim karena itu milik orang lain.
Jadi setidaknya ada dua pelajaran yang dapat dipetik disini. Pertama, sikap inkonsistensi tanpa sadar menjerumuskan orang ke dalam hidup yang gitu-gitu doang. Nggak ada perubahan sama sekali. kalo sendirian sih bodo amatlah. Ini bisa ngajak-ngajak dan melibatkan orang secara berjama'ah untuk menjadi gagal bersama. Buat apa? Kedua, hal yang konsisten dari orang-orang semacam itu adalah inkonsistensi itu sendiri. Tiada yang lain. Jika memandang hidup itu nggak perlu diseriusi, maka hidup juga bakal ngelawak aja sama elu. Gimana, enak?