Banyak orang sudah mendengar dan tau kalo di satu sisi hidup itu keras, kejam dan nggak berperikemanusiaan. Meski sebenarnya di sisi lain hidup juga bisa indah, menawarkan banyak peluang dan punya harapan yang mencerah. Dengan kedua sisi itu, nggak heran jika beberapa berani mengambil resiko untuk bertarung, beberapa lagi terkesan ogah-ogahan. Buat yang terakhir ini, stigma pemalas menjadi melekat. Entah karena buntutnya cuma sekedar nebeng, penyumbang nyinyir secara permanen, atau cari kesempatan nebeng secara terbatas tapi pengen dapet hasil yang maunya maksimal.
Benarkah pemalas? Sebenarnya sih nggak juga. Ada yang bilang kalo justru mereka orang-orang yang tergolong cerdas; gimana caranya keluar keringat seminim mungkin tapi juga bisa mereguk kesuksesan secara instan. Menunda-nunda malah jadi kreatif. Biar kasih omongan doang, orang lain yang bergerak kemudian kembali diri ini menyimpulkan. Pemimpin bukan. koordinator bukan, tapi mampu ikutan dan punya nama. Tapi sekali lagi memang kemalasan hanya puncak gunung es. Selebihnya adalah problem mental yang lemah. Kok bisa? Sebab orang yang mentalnya kuat justru akan berani untuk mengambil resiko, sedangkan yang lemah cuma duduk menunggu kesempatan datang menghampiri.
Lemah mental biasanya ditandai dengan sikap baper dengan omongan orang. Segala komentar jadi penting untuk menentukan arah ke depan, terlebih jika ada masa lalu yang belum tuntas. Impresi jauh lebih penting sehingga apa yang dilakukan adalah berusaha untuk bisa disukai orang, meski zonk kemudian. Misalnya banyak janji yang tidak ditepati, atau segudang keinginan yang cuma jadi angan. Berpikir tentang hal-hal kecil tapi sulit mencerna yang besar. Mudah melihat ketidaksamaan dengan orang lain, tapi berat buat berkaca diri. Oleh karena apapun ditentukan oleh perkataan orang, maka akan selalu ada standar untuk bisa melihat dan menerima omongan yang manis. Bagaimana dengan komentar pait? Sudah pasti bakal mendendam dan beneran jadi baper. Lemah mental dalam fase ini adalah ketidakmampuan untuk menerima kritik apapun bentuknya. Jadi nggak heran jika sesama lemah akan selalu saling menyanjung, memuji, tapi nggak pernah bergerak mendahului satu sama lain. Ibarat katak, sama-sama betah di dalam sumur dan mencela apapun di luar.
Itulah sebabnya sifat baper dan dendam itu membuat diri merasa lebih baik dibandingkan orang lain. Nggak pernah ada keinginan untuk bisa merendah hati, belajar dan kemudian memperbaiki hidup. Sebab rendah hati dianggap identik dengan rendah diri. Belajar adalah sama dengan memposisikan diri di bawah. Dengan merasa lebih baik, lebih tau dan lebih mampu, maka segala rencana bakal tinggal rencana. Ujungnya adalah tentu saja merasa selalu benar. Orang lain adalah contoh kekeliruan dan kegagalan. Meski di luar sana ada yang sukses atau berhasil, dianggap masih belum apa-apa. Istilahnya memegang standar setinggi langit, tapi nggak ada satupun yang bisa ditunjukkan jadi narasi aktual atau kontekstual yang bener-bener nyata.
"A weak mind is like a microscope, which magnifies trifling things but cannot receive great ones." ~Lord Chesterfield
Jadi malas itu memang hanya sekedar refleksi dari situasi yang jauh lebih berbahaya, sebab lemah mental di balik itu semua tidaklah mungkin mengambil status yang mau dianggap remeh. Padahal ketika diremehkan, sebenarnya itu adalah kesempatan. Ketika dianggap bukan apa-apa, maka itu adalah peluang utnuk secara diam-diam unjuk keberhasilan. Strategi semacam itu tidak akan bisa dipahami sebab para lemah akan selalu puas dengan ilusi yang diciptakan sendiri. Sampai kapan? Nggak ada habisnya. Mungkin sampai benar-benar lapar, terdesak atau mau mati. Tapi itu nggak penting. Gengsi yang terlalu besar sudah cukup jadi bahan bakar hingga hidup selesai. Bahaya kan?