Ukuran terhadap sebuah niat, usaha dan pencapaian kerap dilihat dari komitmen yang dimiliki seseorang. Komitmen sendiri berarti keadaan dimana seseorang mengikat diri terhadap diri sendiri dan orang lain untuk melakukan sesuatu. Artinya, janji adalah awal dari sebuah komitmen untuk bergerak, menuntaskan atau menyelesaikan apapun hasilnya. Sebab banyak orang bisa dengan mudah untuk berjanji. Tapi namanya janji ya cuma kata-kata. Banyak angan, keinginan, konsep hingga 'seandainya' yang tersedia dengan murah disitu. Tapi mewujudkan janji jelas nggak gampang. Apalagi janji yang diucapkan cuma hiya ho oh buat sekedar menyenangkan orang lain, bermanis lidah untuk menjilat telinga, atau gegara nggak enakan.
Sebuah komitmen berarti keseriusan yang sungguh dari seseorang bukan saja sebagai pembuktian kepada orang lain bahwa ia menepati janji. Lebih dari itu komitmen adalah pembuktian kepada diri sendiri bahwa apapun proses yang dilakukan, apapun hasil yang didapat adalah dengan sekuat tenaga dilakukan setara dengan kualitas diri yang dimiliki. Jadi langkah pertama untuk menumbuhkan komitmen jelas adalah bagaimana seseorang bisa tepat waktu. Ini penting karena menepati waktu adalah memandang serius diri dan orang lain. Orang yang suka ngaret, itu sama dengan kebiasaan memandang remeh apa yang sedang dihadapi. Ah gampanglah telat-telat dikit, masih sepuluh menit lagi, atau bilang akan segara datang tapi masih ondewei dan ternyata baru bangun tidur. Jika berurusan dengan orang seperti itu dalam konteks personal, mungkin kita bisa memaafkan dan memakluminya dan bahkan tanpa sadar ikut dalam pola serba terlambat. Akan tetapi dalam konteks profesional, manusia macam apa yang tidak menghargai komitmen kerja kepada orang lain apalagi terhadap diri sendiri?
Dengan menepati waktu, maka kebiasaan-kebiasaan yang dibangun selanjutnya juga akan berdampak seperti menepati perkataan hingga menuntaskan pekerjaan. Itu pun masih harus dengan upaya untuk membuat diri punya tanggung jawab, sebab seringkali omongan masih saja nggak sesuai dengan tindakan. Misalnya mudah menyanggupi sesuatu, oke-oke aja mulai, tapi begitu bagi peran dan tanggung jawab kontan menjerit. Merasa bahwa apa yang dikerjakan tidak akan banyak menghasilkan, nggak sesuai ekspektasi di awal dan intinya lepas dari tanggung jawab. Maka model begini biasanya memang tidak pernah punya jejak rekam profesional. Tidak pernah ada portofolio yang memadai, tidak punya loyalitas karena cuma sekedar numpang eksis.
Jadi komitmen saja tidak cukup. Harus ada konsistensi untuk bisa membuat sebuah niat menjadi tindakan itu muncul sebagai pola. Suka atau tidak, pola menjadi acuan tentang kualitas kerja seseorang. Kalo omongnya bagus, tapi cuma sekali dua kali ya nggak guna. Kalo kerjanya bagus, tapi nggak kelihatan ya percuma. Pola memberi kontribusi penting bukan saja terhadap hasil kerja bagus yang terus berulang tapi juga karakter yang dibentuk. Dengan pola yang terukur dan rutin, maka konsistensi menjadi sebuah standar kepedulian tidak saja hasil tetapi juga proses kerja. Orang menjadi punya nilai bukan karena sekedar omong, mikir atau menghasilkan gagasan. Ketika gagasan menjadi sebuah ebntuk komitmen untuk mewujudkannya menjadi sesuatu, ditambah konsistensi yang memaksa agar proses bisa terus berjalan maka hasil yang didapat memiliki kualitas tersendiri.
"We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit." ~Aristotle
Itulah sebabnya ukuran-ukuran tentang komitmen dan konsisten serta pola didalamnya menjadi sangat penting. Bersikap ngotot dan ngeyelan itu perlu di dalam proses agar hasil menjadi baik. Kalo gagal bisa jadi pembelajaran agar mana saja yang bisa diulang dan mana yang dihentikan. Semua dilakukan sampai hasil demi hasil memperlihatkan kualitas dan menjadi portofolio tersendiri. Bayangkan jika cuma modal ngemeng, pengen dilihat sukses, tapi nggak ada kinerja yang bisa dilihat dan terukur sebagai pola. Begitu ditagih ngamukan, atau begitu ditanpa kontan baperan. Pengen sukses tapi nggak punya kebaisaan. Lantas mau jadi apa sih sebenarnya?