Banyak orang mengira bahwa kesuksesan hidup itu ditentukan oleh kecerdasan, pengelolaan rasa atau emosi dan laku spiritual yang diberi makna sempit berupa hubungan manusia dengan Tuhan doang. Maka kesuksesan hidup dianggap tidak lepas dari ukuran atau quotient tertentu seperti IQ untuk intelektual, EQ untuk emosional bahkan SQ untuk spiritual. Padahal ukuran-ukuran semacam itu masih terlalu sempit untuk dianggap berkaitan atau berkontribusi langsung dengan kesuksesan. Misalnya, hanya IQ saja yang punya indikator jelas berupa angka dalam sains seperti psikologi. Baik EQ atau bahkan SQ baru muncul kemudian dan masih belum jelas. Apakah seseorang yang bisa mengendalikan emosi dan berupaya dekat dengan Tuhan melalui praktik keagamaan adalah bisa dikatakan memiliki jalan sukses yang lebih terbuka? Apakah dengan mengandalkan kecerdasan maka hidupnya akan lebih mudah? Belum tentu juga ternyata.
Sebab banyak orang yang terdidik atau cerdas ternyata tidak mampu menggunakan modal akalnya secara maksimal, terutama ketika kaku berhadapan dengan orang lain. Banyak orang yang bisa mengelola emosi tapi telat mikir atau jauh ke dalam empati yang tidak perlu. Banyak pula yang berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mematuhi ajaran agama tapi abai kepada orang lain. Jadi ketiga ukuran tersebut masih belum lengkap. Ketiganya masih berfokus kepada diri sendiri dan tidak memberi porsi yang relatif sama kepada faktor di luar itu.
Selain ketiganya, ada juga social quotient atau ukuran tentang sejauh mana seseorang punya toleransi, mampu bergaul, bisa masuk ke dalam habitat mana pun dan melihat manusia lain dari beragam perspektif. Tentu saja ini adalah modal tersendiri karena dengan ukuran sosial tersebut adalah membangun kepekaan dan empati. Lantas apa bedanya dengan emotional quotient atau EQ? Social Quotient justru menempatkan fokus di luar personal ketimbang EQ yang berfiokus pada emosi diri sendiri. Memahami orang lain tidak cukup hanya dengan olah rasa tetapi juga bisa menempatkan diri dalam ruang lingkup yang berbeda-beda. Tentu saja ini tidak mudah karena selain faktor didikan atau kebiasaan yang dibangun sejak kecil, tidak semua orang bisa nyaman berada dalam lingkungan yang berbeda. Apalagi ketika ia bisa berada di kelas bawah atau atas sekaligus. Faktor agility atau kelincahan untuk bergaul menjadi penting.
Ukuran lain yang kelima dan tidak kalah pentingnya adalah adversity quotient atau AQ. Ini merupakan ukuran sejauh mana seseorang bisa mengatasi masalah dalam situasi yang tidak mengenakkan. Sebab hidup tidak pernah mulus-mulus saja kan? Ada kalanya ia jatuh dan harus bisa bangkit dalam kondisi berat. Tidak ada bantuan atau bahkan nyaris tanpa harapan. Sejauh mana ia bisa bangkit secara kreatif, atau mampu menyelesaikan amsalah dengan damage paling kecil maka AQnya juga menjadi semakin besar. Sebaliknya, jika nggak mampu bertahan dan kebingungan sampe puyeng mau bijimana lagi maka sudah pasti kapasitas AQnya juga kecil.
“Life is fundamentally a mental state. We live in a dream world that we create. Whose life is truer, the rational man of action pursuing practical goals of personal happiness and wealth or the philosophic man who lives in a world of theoretical and metaphysical ideas? We ascribe the value quotient to our lives by making decisions that we score as either valid or invalid based upon our personal ethics and how we think and behave.” ~ Kilroy J. Oldster, Dead Toad Scrolls
Itulah sebabnya menjadi penting baik IQ, EQ atau SQ kek tetap saja harus punya ukuran dan indikator yang berbeda. Menyiapkan diri untuk masuk ke jalan pilihan adalah jauh lebih penting daripada sekedar menyiapkan jalan agar selalu mulus. Ketika kesandung, baru tau rasa kan? Nggak siap juga. Maka apapun ukurannya tetap harus mengandalkan kemampuan diri untuk cepat menyelesaikan masalah sekaligus tahan banting. Cerdas, peka dan relijiyes mungkin penting. Tapi kalo begitu jatuh malah kebingungan, atau mau maju tapi nggak ngerti caranya ya sama aja bo'ong. Janganlah seperti itu sebab antrian menuju jurang pembodohan sudah sangat panjang.